Partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi
tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus, dalam sejarah pemilu di Indonesia,
partai politik berubah ubah jumlahnya pada saat pemilu, tergantung dari Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang melakukan verifikasi sebagai syarat administrasi partai
politik yang harus dilengkapi untuk bisa mengikuti pemilu, jika dalam
verifikasi KPU menilai bahwa partai politik tersebut layak dan memenuhi syarat
untuk mengikuti pemilu sebagaimana diatur dalam undang undang, maka partai
politik tersebut bisa mengikuti pemilu dan mendaftarkan perwakilannya untuk
mengikuti pemilihan legislative secara langsung, kemudian jika partai politik
tersebut mengikuti pemilu maka partai politik harus mampu mengejar target
ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun Tahun 2012, ambang
batas parlemen ditetapkan sebesar 3,5% dan berlaku nasional untuk semua anggota
DPR dan DPRD, jika partai politik tidak mampu memenuhi target
minimal 3,5% secara nasional maka dipastikan tidak akan mendapatkan jatah kursi
diparlemen, meskipun calon legislatifnya yang diusung oleh partai terpilih didaerah
pemilihan yang diusung.
Kekuasaan partai politik
Kepengurusan di partai politik adalah bentuk kekuasan yang mampu berbuat
lebih dibandingkan perwakilannya di parlemen, setiap keputusan diparlemen para
perwakilannya harus mendapat persetujuan dari ketua partai politiknya masing
masing, maka dari ini sering kali partai politik dijadikan alat kekuasaan untuk
membentuk kekuatan besar yang mampu memberikan keuntungan diseputaran elit
partai. Jika para perwakilan yang disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat itu
tidak mendengar atau menjalankan perintah partai, maka siap siap untuk didepak
dari parlemen melalui pergantian antar waktu (PAW) dengan berbagai skenario yang
dimainkan oleh seputar elit partai, maka sesungguhnya dewan perwakilan rakyat
hanyalah menjadi tangan kanan elit partai diparlemen, bukan menjadi tangan
kanan rakyat.
Kepentingan partai jauh lebih besar
dibandingkan kepentingan rakyat
Anggota dewan yang menduduki kursi parlemen mau tidak mau harus
menjadikan kepentingan partai diatas kepentingan rakyat, meskipun kepentingan
kepentingan itu dimainkan secara professional, tapi faktanya setiap dewan
selalu tersandera dengan kepentingan partainya yang jauh lebih besar, ia akan
selalu dilingkari dan dililit oleh kepentingan partainya, sehingga kebijakan
kebijakan yang diambil diparlemen setidaknya harus dapat persetujuan elit
partai dan itu harus menguntungkan partai.
Kita sering menyaksikan bagaimana kisah kisah para dewan yang tidak mau
mendengarkan perintah partai, akhirnya mereka harus menelan pil pahit, selain
dibuang dari partai, mereka juga harus menerima kenyataan untuk digantikan (PAW)
dengan orang yang lebih loyal terhadap partainya, kita juga sering menyaksikan
bagaimana kepentingan rakyat tidak diutamakan, namun ketika kepentingan partai,
mereka kompak dan bersama sama memperjuangkannya dengan semangat.
Haruskah Negara memiliki partai
politik ?
Pertanyaan ini pernah saya tanyakan kepada
salah satu anggota dewan ketika mengisi acara disalah satu sosialisasi
kebangsaan, namun jawabannya tidak memuaskan, namun dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Pasal 1 angka 26 menyatakan bahwa Peserta Pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan perseorangan untuk Pemilu anggota
DPD
Di Aceh pasca perjanjian MoU Helsinky lahirnya sebuah ide baru, yaitu
calon independent untuk pemilihan eksekutif (Gubernur dan Bupati/Walikota), pemilihan
Gubernur yang menyertakan calon independent adalah pertama dalam sejarah
terjadi di Indonesia, pada tanggal 11 Desember 2006 serentak dengan Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten/Kota
di 19 dari 21 kabupaten/kota se-provinsi Aceh. Sejarah pertama dengan
adanya calon independent tersebut menghantarkan drh. Irwandi Yusuf, M.Sc dan
Muhammad Nazar, S.Ag sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih yang
diusung melalui jalur independent.
Kemudian
ditahun 2011 terjadi polemik tentang adanya calon independent yang kembali
diperbolehkan di Aceh, sebab menurut UU
nomor 11/2006 tentang Pemerintah Aceh pasal 256 yang mengatur calon
perseorangan hanya diperbolehkan sekali dalam Pemilukada di Aceh yaitu tahun 2006.
Tahun 2010 oleh Tami Anshar Mohd Nur, Faurizal,
Zainuddin Salam, Hasbi Baday melalui kuasa hukumnya Mukhlis, S.H., Safaruddin,
S.H., dan Marzuki,
SH mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mencabut pasal 256
tersebut, sehingga dengan maksud bahwa calon independent masih bisa dicalonkan
untuk kedepannya, akhirnya Makhamah Konstitusi mengabulkan permohonan tersebut.
Sehinggan pencabutan pasal 256 tersebut menuai polemik yang panjang di Aceh,
sampai berdampak pada banyaknya penundaan pelaksanaan pemilukada di Aceh pada
tahun 2012 yang lalu.
Melihat pengalaman
kekisruhan pada pilkada di Aceh tahun 2012 yang akhirnya berbuah manis, masih
dapat hadirnya calon independent untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur maupun
Bupati/Walkot, muncul berbagai pertanyaan, mengapa kita tidak ada caleg
independent.
Caleg Independent
Pada awal tahun 2014 di Aceh Forum Kaukus Pemuda Aceh
Peduli Parlemen membedah memunculkan wacana baru agar pada pemilu 2019
mendatang pemerintah mengizinkan adanya calon anggota legislatif nonpartai atau
independen, hal itu mengemuka dalam diskusi calon anggota legislatif DPR RI
asal Aceh di Ring Road Coffee (Serambi Indonesia : 2014)
Bahkan wacana itu bukan saja dimunculkan di Aceh
tetapi juga muncul didaerah daerah lain seperti Sulawesi tenggara yang
menginginkan adanya calon independent yang bisa mencalonkan diri untuk menjadi
wakil rakyat, adanya calon independent sebenarnya mampu memberikan warna baru
bagi masyarakat yang bosan terhadap tingkah laku anggota dewan, apalagi tingkah
anggota dewan yang bagaikan kacang lupa kulitnya, mereka tersandera dengan
partai politiknya, namun berbeda dengan calon independent yang tidak akan
tersandera dengan kekuasaan partai politik, sehingga ruang geraknya jauh lebih
besar dibandingkan dewan yang diwakili partai politik. Dengan adanya calon
independent setidaknya para partai politik akan lebih berhati hati dan lebih
memperhatikan masyarakat sebagai konstituennya, karena persaingan partai bukan
saja antar partai namun juga personal (independent) yang tidak tersandera
dengan partai politik.
Bukankah dalam konstitusi UUD 1945 diatur bahwa
setiap warga Negara memiliki hak yang sama, memberikan kesempatan kepada
setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, bahkan UUD 1945
menyatakan setiap warga negara berhak mendapatkan kesempatan yang sama di dalam
pemerintahan. Sedangkan kita ketahui, bahwa partai politik sangat terbatas
dalam penjaringan dalam pemilihan calon legislative, juga memiliki banyak
kepentingan didalamnya, sehingga dalam proses recruitment pun banyak terdapat
hambatan bagi masyarakat diluar partai yang ingin mencalonkan diri sebagai
wakil rakyat. Dengan begitu kesempatan sebagai warga Negara yang berhak dipilih
telah dihambat oleh partai politik.
Melihat dan mencermati kondisi kekinian terhadap 2 persoalan yaitu Partai politik dan Independen, maka muncul dua pertanyaan dibenak saya
- Jika masyarakat diberi dua pilihan, untuk memilih dengan jujur sesuai harapannya, apakah mereka memilih Partai Politik atau Independent ?
- Bisakah Negara kita hidup tanpa partai politik ?
Mengapa Harus Partai, Tidak Independen
Reviewed by Anonim
on
Oktober 31, 2014
Rating: