Jariku
tak lagi mampu menari dengan tajam sesuai irama yang terpikirkan oleh otakku,
tidak, tidak bukan karena keram ataupun kedinginan, tapi karena aku baru saja
sadar bahwa gunung yang kubanggakan tidak lagi seperti dulu, ya gunung yang
bahkan menjadi nama peusawat pertama yang dimiliki oleh Indonesia “Seulawah” ya
seulawah. Aku mulai merasakan kehampaan disini, ingin rasanya aku kembali
bernostalgia seperti tahun tahun 2000 silam tentang sejuknya gunung seulawah
meski matahari sedang menyinari dengan teriknya.
Sepanjang
perjalanan melewati jalan Banda Aceh Medan, aku merasakan getaran kekhawatiran
terhadap kondisi gunung seulawah yang menjadi hutan lindung tersebut, aku
melihat dengan nyata bahwa pohon pohon besar banyak yang telah tumbang menjadi
kebunan warga. Tak pernah terpikirkan oleh ku sebelumnya bahwa seulawah akan
menjadi gunung gundul dan rasa sejuk jika melintasi seulawah yang pernah
kurasakan seperti ditahun tahun 2000 dan
sebelumnya tak akan lagi kurasakan.
Tidak
ada yang bisa kuceritakan pada anak anaku kelak tentang keistimewaan gunung
seulawah, ya keistimewaan, semuanya tampak biasa biasa saja saat ini. Akupun
tak perlu lagi menyiapkan baju jacket yang tebal kepada anak anaku kelak jika
kami melakukan perjalanan dan melintasi gunung seulawah, tidak seperti masa
kecilku, ibu dan nenekku yang selalu khawatir tentang kedinginan yang kurasakan
ketika aku melintasi seulawah, ibu dan nenekku selalu menyiapkan baju jacket
tebal untukku dan memakainya ketika kami mulai melintasi seulawah dan itu tak
perlu lagi kulakukan pada anak anakku kelak, bukan karena aku tidak takut
anakku yang merasakan kedinginan ketika melintasi seulawah, tapi karena memang
kita tidak akan merasakan kedinginan lagi jika melintasi pergunungan itu.
Hutan
belantara yang dulunya menggelapkan seulawah dan pohon pohon besar disepanjang
lintasan gunung seulawah saat ini telah digantikan dengan perkebenunan warga,
bukan saja disepanjang lintasan itu, tapi diperdalamannya lagi juga mengalami
hal serupa. Memang sejak perdamaian tahun 2005 silam, banyak hutan hutan yang
sebelumnya tidak tersentuh saat ini mulai dimanfaatkan kembali oleh warga untuk
berkebun, bahkan pembalakan liar pun marak terjadi.
Tapi
aku khawatir, bagaimana jika suatu saat penebangan dan penggundulan hutan yang
ada digunung seulawah malah membawa petaka bagi warga dan pengguna jalan
nasional itu, aku khawatir jika kejadian di Tangse itu juga akan di alami oleh
warga yang bermukim di seulawah. Masih terlintas dibenakku bagaimana kejadian
banjir bandang di Tangse telah memperlihatkan kepada kita bahwa di sana,
didalam hutan telah terjadi penebangan secara massal, banjir bandang telah
menghanyutkan kayu kayu besar keperumahan warga, bahkan tidak cukup sekali,
Tangse sejak Aceh berdamai telah dua kali mengalami bencana banjir bandang,
sebabnya adalah penebangan liar yang marak terjadi dihutan belantara itu.
Bukan
saja di Tangse tapi di Aceh Selatan, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Aceh Timur,
Aceh Tengah dan dikabupaten lainnya. Sejak Perdamaian, di Aceh sering sekali
mengalami bencana banjir bandang, tidakkah keserakahan kita telah diperlihatkan
malapetaka oleh Tuhan. Mengapa kita harus seserakah itu, kenapa kita tidak
membiarkan hutan itu tumbuh menjadi penyelamat kepada generasi kita mendatang,
seserakah itukah kita saat ini.
“Jika engkau
tak mau meninggalkan untuk kami hutan itu, setidaknya engkau tinggalkanlah
untuk anak dan cucumu kelak”
Seulawah, Aku Khawatir Tentangmu
Reviewed by Anonim
on
September 14, 2014
Rating: