Aceh, memang bukanlah sebuah negeri,
melainkan sebuah Provinsi yang punya aturan khusus, berbeda dari daerah lainnya
di Indonesia. Aceh punya kekhususan yang diakui dan dihormati oleh pemerintahan
pusat dalam bentuk Undang Undang Pemerintah Aceh (UUPA) yang lahir pasca
perjanjian MoU Helsinky tahun 2005 silam, dalam UUPA kekhususan Aceh di akui
sedemikian rupa, bahkan dalam kata lain masyarakat Aceh sering
mengistilahkan bahwa Aceh telah merdeka dalam bingkai NKRI, entah apa maksud kata merdeka itu, padahal jika ingin dikatakan merdeka dalam bidang ekonomi, itupun belum terjadi, sebab di Aceh ada ribuan sarjana yang menganggur, di Aceh ada juga ribuan rumah yang kehidupannya memprihatinkan, apalagi berbicara tentang rumah sebagai tempat berteduh juga ada ribuan yang tidak layak huni.
mengistilahkan bahwa Aceh telah merdeka dalam bingkai NKRI, entah apa maksud kata merdeka itu, padahal jika ingin dikatakan merdeka dalam bidang ekonomi, itupun belum terjadi, sebab di Aceh ada ribuan sarjana yang menganggur, di Aceh ada juga ribuan rumah yang kehidupannya memprihatinkan, apalagi berbicara tentang rumah sebagai tempat berteduh juga ada ribuan yang tidak layak huni.
Istilah merdeka dalam bingkai NKRI
mungkin bisa sebagai hiburan untuk masyarakat Aceh yang pernah bermimpi untuk
berpisah dan membentuk Negara sendiri, meski akhirnya berujung pada perdamaian
usai luluh lantak dihantam oleh gelombang tsunami.
Sejak kekhususan itu tertulis dalam kitab
UUPA, Aceh memang banyak sector yang bisa di urus dan dibentuk sendiri tanpa
campur tangan pemerintah pusat, kemudian sejak saat itulah banyak muncul
lembaga lembaga resmi pemerintah seperti Dinas Syariat Islam, Mahkamah Syariat
Islam, seperti DPRD berganti nama menjadi DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh)
begitu juga dengan DPRD tingkat II berganti nama menjadi DPRK (Dewan Perwakilan
Rakyat Kabupaten/Kota) dan yang masih hot alias masih bergulir panas
permasalahan bendera dan lembaga Wali Nanggroe. Tentunya itu semua hanya ada di
Aceh, tak ada satupun lembaga itu ada di provinsi lain di Indonesia selain di
Aceh.
Bahkan sejak perdamaian terjadi kita
lupa bahwa harapan masyarakat yang sesungguhnya, kita terlalu bereforia pada
kebebasan yang dibentuk dalam bentuk kitab yang bernama UUPA. Kita lupa bahwa
ada ribuan masyarakat Aceh yang mengganggur dan hidup dibawah kemiskinan, tapi
Aceh malah kaya akan gagasan, yaitu gagasan mendirikan nama, lembaga dan hal
baru. Tapi miskin akan pembangunan sector ekonomi, seharusnya usai perdamaian
yang sudah berlansung lebih dari 8 tahun, dengan kekhususan dan kebebasan yang
diberikan untuk Aceh dalam mengurus kebutuhannya sendiri kita sudah hidup lebih
baik, tapi nyatanya kita masih hidup dibawah kemiskinan, bahkan pendidikan kita
mendapat juara yang memalukan, apalagi ketika di umumkan oleh kemendikbud bahwa
kualitas pendidikan kita di Aceh dibawah kualitas pendidikan di Papua, wah mau
jadi apa generasi Aceh ini, padahal kita hidup dalam bentuk kekhususan dan
keistimewaan dibandingkan provinsi lainnya.
Kita sibuk membentuk Aceh untuk jauh
berbeda dari provinsi lain, meski perbedaan itu tidak akan mampu meningkatkan
kesejahteraan Aceh, kita lupa tentang kebutuhan utama masyarakat Aceh yaitu
hidup sejahtera, kita dengan bangga mengatakan tentang kekhususan Aceh, tapi
kita menyembunyikan tentang kenyataan bahwa di Aceh ada ribuan masyarakat yang
hidupnya dibawah garis kemiskinan, kita menyembunyikan bahwa di Aceh pengemis
ibarat jamur yang tumbuh dimusim hujan.
Dulu kita dengan bangga mengatakan
bahwa Aceh akan lebih baik dan sejahtera jika di urus sendiri, jadi sekarang
siapa yang mengurus Aceh ?. Apakah dengan begitu kita sudah baik dan sejahtera,
butuh berapa tahun lagi kita untuk sejahtera, apakah butuh waktu sampai semua
sumber daya alam yang sudah terkuras habis baru kemudian masyarakat Aceh
merdeka, atau kita kembali menghibur diri dengan Aceh merdeka dalam bingkai
NKRI.
Hiburan Aceh Merdeka
Reviewed by Anonim
on
September 03, 2014
Rating: