Lhokseumawe adalah kota hasil pemekaran yang sebelumnya menyatu
dalam kabupaten Aceh Utara, pada era 90an kota ini dikenal dengan julukan
petro dolar, julukan petro dolar yang disematkan pada kota tersebut tidaklah
berlebihan mengingat adanya perusahaan raksasa yang menguras sumber daya alam
berupa gas dikota tersebut, yaitu PT. Arun NGL. Perusahaan tersebut bertaraf
internasional memang telah menjadi ladang dolar untuk pemasukan kebutuhan
Indonesia, tapi apa yang kemudian didapatkan oleh penduduk sekitar yang bermukim
disekitar PT. Arun atau yang berkedudukan di kota Lhokseumawe tersebut.
Sampai saat ini di era tahun 2014, dimana gas yang
dikuras oleh PT. Arun sudah mulai habis, muncul wacana baru dari pemerintah
Aceh untuk mengalihkan perusahaan tersebut ke terminal gas. Dalam catatan buku
harian saya, jika pemerintah tidak lagi melanjutkan penggunaan insfatruktur
yang dimiliki oleh PT Arun dan menutupnya, maka besi tua jika dijual perkilo
akan menghasilkan kisaran harga 3 Trilyun sebagaimana dalam diskusi saya
bersama teman teman ketika melakukan studi lapangan ke PT. Arun tahun 2012 silam.
Bayangkan menjual besi tua dengan harga kilogram saja
mencapai 3 T, seberapa besar omset yang dimiliki oleh perusahaan tersebut
ketika masih beroperasi secara normal, tentunya jika kemudian kota Lhokseumawe
di juluki kota petro dolar memang tidaklah berlebihan.
Nasi telah menjadi bubur, perdamaian dan otonomi khusus
yang diberikan kepada Aceh ketika PT. Arun tidak lagi beroperasi secara normal,
dolar yang dihasilkan oleh PT. Arun pun hanya bisa menjadi kebanggaan
masyarakat Aceh pada sebuah julukan kota tersebut. Buaya krueng teu dong dong,
buaya tamong meuraseki, pribahasa ini memanglah sangat cocok untuk masyarakat
Aceh terutama warga kota Lhokseumawe yang tidak menikmati kekayaan sumber daya
alam yang dikelola oleh PT. Arun sehingga diwaktu gas yang mulai habis pun
masyarakat kota Lhokseumawe masih menikmati kemiskinan dan rumah beratap rumbia
serta berdinding kayu pun masih menjadi khas rumah warga lhokseumawe.
Padahal melihat kemegahan dan pendapatan PT. Arun berkat
gas yang dihasilkan dikota Lhokaseumawe, cukup bahkan lebih untuk
mensejahterakan masyarakat Lhokseumawe, tapi jika dikelola dan diberikan hak
warga lhokseumawe, tapi nyatanya warga lhokseumawe hanya menikmati aroma gas
dan limbah yang dihasilkan oleh PT. Arun dan sedikit bantuan untuk menyenangkan
warga miskin disekitarnya. Sedangkan selebihnya kita tidak tahu siapa yang
menikmatinya.
Kurang lebih sama seperti yang terjadi di Papua dengan
kemegahan Freeportnya, tapi warga papua tetap merasakan kemiskinan. Padahal
jika hasil pendapatan Freeport dibangun infastruktur dan ekonomi di papua,
papua bisa dalam sekejap mengalahkan singapura. Tapi yang kemudian terjadi,
papua melalui pemerintahnya hanya menerima hak berkisar 35T dalam setahun. Uang
yang banyak itupun malah hanya dinikmati dan menjadi pintu untuk pejabat
melakukan korupsi di Papua.
Indonesia memang kaya akan sumber daya alamnya, akan
tetapi pengelolaannya hanya bertumpu pada kelompok kelompok tertentu, elit elit
tertentulah yang bisa menikmati dan memperkaya diri, sedangkan masyarakat hanya
menikmati kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan perusahaan
tersebut. Begitulah kesenjangan sosial yang terjadi di Indonesia, kekayaan alam
yang dimiliki hanya menyebabkan kesengsaraan dan tumbuhnya penyakit bagi warga
sekitar.
Kita boleh bangga, daerah kita kaya sumber daya alam,
tapi kebanggan itu terlihat bodoh jika kita tak bisa menikmati hasilnya dan
meningkatkan taraf kehidupan kita, yang seharusnya itu bisa terjadi.
Lalu apa yang kita banggakan, membanggakan megahnya
perusahaan yang berdiri dilingkungan kita, meningkatkah kesejahteraan kita
dengan kebanggaan seperti itu ? atau kita lagi lagi harus merasakan dampak
sosial yang terjadi dikemudian hari.
Kota Petro Dolar, Warga Dipayung Kemiskinan
Reviewed by Anonim
on
September 20, 2014
Rating: