Dalam Pilkada kali ini Sosok Muzakir Manaf
(Mualem) patut kita apresiasi atas kemampuannya membangun komunikasi politik
lintas parpol. Disaat calon lain seperti Irwandi Yusuf yang mengejar koalisi
parpol dan kemudian hanya mampu menemukan koalisi pas-pasan dengan sodoran
posisi Wakil. Muzakir Manaf malah bebas melenggang lenggang dan menjadi
primadona para partai politik nasional dan bahkan bebas menentukan siapa
Wakilnya. Padahal sedari awal dari berbagai lintas partai Survei dimenangkan
oleh Irwandi Yusuf, namun lirikan mereka tetap jatuh pada Muzakir Manaf,
mungkin juga alasan nya pragmatis yaitu kekuasaan mayoritas, tapi jika para
parnas mampu berkolaborasi dalam satu tujuan maka parnas lebih unggul
dibandingkan parlok.
Belum sampai disitu, disaat Tarmizi A
Karim menjadi harapan parnas untuk membangun Aceh, tak pula bertahan sampai
hari pemilihan, para parnas tersebut malah pada pisah ranjang dan melirik
Muzakir Manaf sebagai dambaan hati dengan meninggalkan Tarmizi A Karim sebagai
jomblowers yang tak direstui sepenuh hati.
Tentu kemampuan Muzakir Manaf dalam
membangun komunikasi politik ini menjadi sebuah nilai yang dipertimbangkan dan
ditakuti lawan lawan nya. Tetapi, Muzakir Manaf punya kesalahan dalam
menentukan Wakil yang mendampinginya, sehingga ia harus bekerja lebih keras
lagi untuk memenangkan pertarungan Pilkada kali ini. Karena potensi Wakil yang
tidak mampu mengimbangi basis basis suara, tak memiliki kemampuan intelektual
lebih dan tak juga memperpendek langkah langkah lawan untuk memenangkan
pertarungan.
Pertarungan Muzakir Manaf dengan Irwandi
Yusuf seperti pertarungan Rossi vs Marquez, yang berbahaya adalah Apa Karya
yang ibarat Lorenzo bisa menyelip kapan saja, meski diremehkan oleh lawan namun
mendapat perhatian banyak dari pemilih di Aceh atas berbagai statmentnya yang
di anggap original. Bahkan Apa Karya menjadi atitesis dari kejenuhan masyarakat
terhadap sikap dan formalitas politikus dalam berargument dan janji janji
politik yang tak kesampaian.
Sedangkan calon lain seperti Tarmizi A
Karim lebih terlihat seperti seorang birokrat yang penuh dengan teoristik, tapi
tak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan sederhana seperti membangun
hubungan baik dengan parpol yang telah mendukungnya, sehingga para parpol lebih
memilih meninggalkannya ditengah jalan. Lain pula dengan Abdullah Puteh yang
terlihat sebagai ureung intat linto (antar pengantin), keseriusannya dalam
mencalonkan diri sebagai Gubernur Aceh tak tampak dilapangan, sehingga atribut
dan tim suksesnya pun tidak terlihat sama sekali.
Beda lagi dengan Zaini Abdullah, sebagai
incumbent janji politik nya banyak yang sudah basi, ia tak mampu
mengimplementasikan janji besarnya dalam pemerintahannya saat ini sehingga
masyarakat sulit untuk percaya ia akan memenuhi janjinya untuk periode kedua,
tapi ia punya pilihan Wakil yang perfek dibandingkan pasangan calon lainnya,
Wakil nya merupakan Bupati yang tergolong sukses dalam memimpin daerahnya. Namun
factor banyaknya kekecewaan para mantan kombatan terhadap dirinya membuat ia kurang
mendapat simpati didaerah daerah basis-basis mantan GAM, belum lagi faktor umur
yang tergolong tidak lagi tua untuk seorang Zaini Abdullah yang membuat enggan
masyarakat untuk kembali memberikannya kesempatan kedua.
Pokok e lage na laju, de facto, de jure
Sumber foto : Serambi Indonesia
Primadona Muzakir Manaf
Reviewed by Yudi Official
on
Februari 01, 2017
Rating:
Tidak ada komentar: