AKHIRNYA semua fraksi DPRA melalui sidang
paripurna yang digelar Sabtu (30/1/2016) malam, menyetujui nota Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) 2016 senilai Rp 12,874 triliun
sebagaimana diajukan Gubernur Aceh dua hari sebelumnya menjadi APBA 2016. Dalam sidang paripurna
tersebut, semua fraksi mengharapkan agar APBA
2016 yang telah disetujui itu --setelah
dievaluasi dan disetujui oleh Mendagri-- pihak eksekutif (pemerintah Aceh)
diminta segera merealisasikan program dan kegiatan yang terdapat dalam APBA 2016 itu.
Sama halnya seperti RAPBA tahun-tahun sebelumnya,
maka pembahasan RAPBA Tahun Anggaran 2016 ini pun berlangsung alot, sehingga
pengesahannya pun tidak tepat waktu. Pengesahan APBA 2016 yang mestinya sudah dilakukan paling
lambat pada 31 Desember 2015 lalu, baru bisa disetujui dan disahkan satu bulan
kemudian, yaitu pada 30 Januari 2016. Itu pun setelah melalui proses mediasi
dan mendapat peringatan dari kemendagri. Pertanyaannya mengapa proses pembahasan
dan pengesahan APBA 2016 ini tidak bisa tepat waktu alias
terlambat?
Faktor
disharmonisasi?
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2012 menandai
dimulainya partisipasi partai lokal setelah sebelumnya satu partai lokal, yakni
Partai Aceh berhasil mendominasi Pemilu Legislatif 2009 sehingga berhasil
meraih kursi terbanyak di semua DPRK dan DPRA. Dengan bekal tersebut tentu saja
Partai Aceh berpeluang mendudukkan kadernya di kursi Gubernur-Wakil Gubernur
Aceh. Terbukti pasangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf (Mualem) berhasil
memenangkan pilgub dengan meraih suara 55.78%. Pesaing terdekatnya pasangan
Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan hanya berhasil meraih suara 29,18%. Sementara tiga
pasangan calon lainnya hanya meraih suara di bawah 10%.
Karena Zaini-Mualem merupakan mantan GAM murni,
semula diharapkan lebih solid dalam memimpin Aceh. Namun sepertinya harapan itu
kembali kandas di tengah jalan. Karena masing-masing merasa mempunyai kekuatan
politik yang melegitimasi untuk bertindak tanpa saling memberi pertimbangan.
Sebagai Gubernur Aceh, Zaini berkuasa penuh dalam penempatan pejabat di
lingkungan pemerintah Aceh, sehingga merasa mempunyai kekuatan birokrasi.
Kekuasaannya dibuktikan dengan demikian seringnya melakukan bongkar pasang
pejabat di lingkungan Pemerintah Aceh, tanpa alasan yang sulit dipahami publik,
bahkan tak jarang malah memunculkan masalah. Setidaknya masalah itu berupa
tidak dilibatkannya Mualem dalam pembahasannya.
Ada juga beberapa masalah mutasi yang terasa
konyol, seperti diberi jabatannya orang yang sudah meninggal dunia seperti yang
terjadi pada saat pertama kali Zaini melakukan perombakan “kabinet”. Adalah
Rahmad Hidayat SH MH, PNS yang sudah meninggal pada Januari 2012 ikut dilantik
menjadi pejabat eselon IV sebagai Kasubbag Pembinaan Hukum Kabupaten/Kota pada
Biro Hukum Setda Aceh, 5 Februari 2012. Yang juga terasa konyol adalah jabatan
Kepala Biro Humas yang sudah bergantian diduduki lima orang hanya dalam
setengah periode masa pemerintahan Zaini-Mualem. Demikian sulitkah tugas
seorang Kepala Biro Humas, sehingga harus berganti berkali-kali?
Di sisi lain Mualem mempunyai dukungan politik
karena menjabat sebagai Ketua Umum Partai Aceh, sejak berdiri pada 2007 hingga
sekarang. Sejak mengikuti pemilihan legislatif pada 2009, Partai Aceh
senantiasa meraih kursi terbanyak. Pada Pemilu 2009 Partai Aceh meraih 33 dari
69 kursi yang tersedia dan Pemilu 2014 meraih 29 dari 81 kursi DPRA. Dengan
kekuatan politik di DPRA, seharusnya PA bisa lebih leluasa mewujudkan visi-misi
dalam menjalankan Pemerintah Aceh, karena gubernur-wakil gubernur juga berasal
dari PA. Namun yang menonjol malah kompetisi terselubung Zaini-Mualem yang
menjelma dalam disharmonitas kemitraan eksekutif-legislatif. Zaini mempunyai
perpanjangan tangan di eksekutif sementara Mualem perpanjangan tangannya di
legislatif. Dampak paling nyata adalah terlambatnya penetapan APBA seperti yang
terjadi pada 2015.
Di tengah masa jabatan Zaini-Mualem, UU tentang
Pemerintahan Daerah kembali berubah seiring ditetapkannya UU No.23 Tahun 2014.
Dalam UU baru ini tugas wakil kepala daerah dijelaskan dalam Pasal 66. Tugas
tersebut meliputi empat hal, yakni: (a) membantu kepala daerah; (b) memberikan
saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam pelaksanaan Pemerintahan
Daerah; (c) melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah
menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara; dan (d) melaksanakan tugas
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain keempat tugas
tersebut, wakil kepala daerah masih memiliki tugas lainnya, yaitu melaksanakan
tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah yang
ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.
Tugas membantu kepala daerah diperinci sebagai
berikut: (1) memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah; (2) mengoordinasikan kegiatan Perangkat Daerah dan menindaklanjuti
laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan; (3) memantau dan
mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh
Perangkat Daerah provinsi bagi wakil gubernur; dan (4) memantau dan
mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh perangkat
daerah kabupaten/kota, kelurahan, dan/atau desa bagi wakil bupati/wali kota.
Momentum
perbaikan
Semestinya perubahan pembagian
tugas gubernur-wakil gubernur secara konstitusional bisa menjadi momentum
perbaikan hubungan Zaini-Mualem. Namun seperti diketahui, belum terlihat ada
upaya harmonisasi hubungan tersebut. Akibatnya, pembahasan RAPBA 2016 menjadi
terlantar. Bahkan --meski akhirnya APBA 2016 disetujui dan disahkan--
sampai menjelang akhir Januari 2016 Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) baru
sampai tahap membahas RKA-SKPA.
Salah satu penyebab
keterlambatan tersebut adalah tidak adanya titik temu dalam penyusunan RAPBA
terkait politik anggaran dan regulasi penganggaran. Selama ini TAPA hanya
mengedepankan regulasi penganggaran dan mengesampingkan politik anggaran.
Semestinya perebutan anggaran untuk mendukung percepatan program kesejahteraan
rakyat, karena RAPBA merupakan akomulasi dari hasil retribusi dan pajak yang
diberikan oleh rakyat kepada pemerintah. Sementara regulasi penganggaran
terkesan sebagai keraguan pemerintah pusat dalam menerapkan otonomi daerah,
yang harus dipatuhi eksekutif di daerah. Akibatnya politik anggaran yang hendak
dikedepankan legislatif dalam penyusunan RAPBA menjadi terkendala.
Dengan sama-sama mempunyai
dukungan, mestinya Zaini-Mualem bisa menjembatani kedua kepentingan itu agar
pembahasan RAPBA bisa tepat waktu. Ketika keterlambatan penyusunan RAPBA yang
kemudian terjadi, publik hanya bisa menafsirkan kegagalan pasangan tersebut
dalam mengharmoniskan hubungan kemitraan eksekutif-legislatif. Bisa jadi
penyebabnya karena hubungan Zaini-Mualem sendiri masih kurang harmonis. Namun,
kini setelah APBA 2016 disetujui dan disahkannya, akankah hubungan
kedua pemimpin Aceh ini kembali harmonis dan sama-sama bertekad mamajukan Aceh?
Wallahu a’lam bishawab.
Ditulis oleh
Drs.
Yunardi Natsir, MM., Anggota
Komisi III DPRA Fraksi Partai NasDem dan dipublikasikan dalam rubric opini
media cetak harian serambi Indonesia edisi 01 Februari 2016
Akhirnya APBA 2016 Disahkan
Reviewed by Yudi Official
on
Februari 01, 2016
Rating:
Tidak ada komentar: