Baru
beberapa hari ini saya duduk diwarung kopi kawasan Pango Ulee Kareng. Tidak
lama kemudian, muncul seorang anak laki-laki yang usianya berkisar sekitar 7-10
tahun dengan membawa satu kantong kresek kosong (kantong plastik) berwarna
hitam, ia menadahkan tangannya bersama kantong plastik tersebut dengan tujuan
meminta sumbangan pada orang-orang yang sedang nongkrong di warung kopi
tersebut, ketika tiba pada kursi yang kami duduki ia juga melakukan hal yang
sama, kemudian salah satu teman saya yang duduk didekat ia berdiri bertanya
“pat tinggai dek” ia menjawab “kajue bang”, ketika mendengar nama kajue
kemudian saya pun menimpali satu pertanyaan lagi “pakoen jioh that kajak keuno,
ngon soe kajak”, pertanyaan tersebut tidak ia jawab, ia malah memaling
malingkan kepalanya dan bertingkah sedikit mengganggu kawan yang berada didekat
dia, si kawan tersebut pun kemudian segera memberikan sedikit sumbangan untuk
bocah tersebut dan kemudian si bocah itu pergi ke meja-meja lainnya.
Melihat
cara ia menadah dan menjawab pertanyaan yang kami berikan, lantas kami pun
berdiskusi sebentar tentang si bocah tersebut, yang caranya menunjukkan sebuah
“settingan” atau telah diajarkan oleh oknum tertentu agar ia melakukan hal hal
yang oknum tersebut katakan ketika ia melakukan aksinya. Karena bocah yang
seusia dia, tidak mungkin berani melakukan pekerjaan mengemis jika tanpa di
kordinir oleh seseorang.
Sambil
berdiskusi, kami terus memantau gerak gerik si bocah tersebut, sampai akhirnya
ia selesai melakukan aksinya diwarung kopi yang sedang kami nongkrong, usai
melakukan hal tersebut ia segera keluar kejalan dan pergi berjalan kaki,
kira-kira 50 meter disamping warung kopi, lalu adalah sebuah becak yang
berhenti sambil memegang sebuah handphone dan berbicara entah dengan siapa,
kami pun sempat berpikir bahwa itulah abang becak yang bertugas membawa dia
kemana mana, ternyata ia melewati abang becak tersebut, namun pandangan kami
tetap melihat ia sejauh mana berjalan, ternyata 30 meter kemudian, berhenti
lagi sebuah becak yang didalamnya juga ada seorang ibu-ibu, bocah tersebut
kemudian naik becak dan pergi menuju arah lampineung.
Ternyata
benar, apa yang kami diskusi sebentar tadi itu nyata adanya, bahwa memang bocah
tersebut dikordinir oleh seseorang untuk bertugas mengemis berkeliling kota
Banda Aceh. Beberapa bulan sebelumnya, saya juga punya pengalaman serupa
tentang bocah bocah yang mengemis dengan usia kira kira sama, anehnya ketika
itu, waktu saya mengajukan pertanyaan tentang tempat tinggal mereka kepada
kedua bocah tersebut yang melakukan aksi mengemis bersama, mereka menjawab
dengan dua tempat yang berbeda beda, yang satu menjawab ajuen, yang satu lagi
menjawa seutui, kemudian yang menjawab ajuen tersebut segera menarik tangan temannya
yang menjawab seutui, lalu yang menjawab ajuen tersebut berkilah bahwa di seutui
mereka hanya tinggal dirumah sewa, lalu mereka segera pergi dari meja tempat
kami nongkrong.
Menurut
cerita dari seorang kawan, bahwa mereka itu dikordinir disalah satu kawasan di
kota Banda Aceh ini, mereka ditugaskan untuk mengemis dan menjawab semua
pertanyaan seperti yang telah oknum tersebut ajarkan dan setiap sore mereka
selalu berkumpul untuk diberikan arahan oleh oknum tersebut. Entah lah, benar
atau tidak kata sikawan tersebut.
Fenomena
menjamurnya para pengemis dikota Banda Aceh ini disebabkan oleh tidak adanya
ketegasan pemerintah dalam menyikapi fenomena sosial ini, padahal banyak sekali
pengemis di Banda Aceh ini adalah mereka mereka yang masih tergolong sangat
sehat dan muda. Bahkan para pengemis ini sudah menjadikan aktivitas mengemis
sebagai ladang pekerjaan yang menjanjikan dan sekarang ada juga yang sudah
menjadikan ladang bisnis dengan memanfaatkan anak anak kecil yang masih polos.
Secara
psikologis sosial, pribadi saya sangat malu ketika melihat menjamurnya pengemis
di Banda Aceh ini adalah orang orang yang sangat sehat, saya selalu
membayangkan, apa yang orang orang luar pikirkan tentang Banda Aceh ketika
mereka melihat sebuah kota yang sedang nafsu nafsunya melaksanakan Syariat
Islam secara kaffah agar dapat menuju kota madani, tapi para pengemis semakin
menjamur dan mereka dipenuhi oleh orang orang yang memiliki fisik sehat.
Apalagi
kekayaan Aceh yang digembar gemborkan selama ini, trilyunan rupiah setiap
tahun, tapi hasilnya adalah pengemis semakin menjamur di ibukota, seharusnya
pemerintah khususnya Dinas Sosial yang menangani masalah ini, harus melihat
bahwa fenomena pengemis ini adalah bukan fenomena biasa yang harus ditanggapi
secara biasa, ini adalah menjadi tsunami bagi Aceh jika tidak ditanggapi secara
serius.
Saya
belum mampu membayangkan seandainya ibu kota yang sedang kita perjuangkan agar
menjadi model “Kota Madani” suatu saat malah berhasil dengan nama “Kota
Pengemis”, akibat para pengemis menjadikan Banda Aceh sebagai ladang yang
menjanjikan dan mengemis sebagai profesi yang memberikan hidup lebih layak.
Apa
yang kita tunggu dengan fenomena ini, sehingga pemerintah tidak menanggapinya
secara serius dan fenomena ini hanya dianggap sebagai fenomena biasa, pernahkah
pemerintah Banda Aceh mengkaji perbedaan jumlah pengemis sekarang dibandingkan
dengan pengemis 10 tahun sebelumnya.
Menuju “Kota Madani” atau “Kota Pengemis”
Reviewed by Yudi Official
on
Februari 17, 2016
Rating:
Tidak ada komentar: