Pencarian saya tentang
sejarah Aceh berawal dari kesalahpahaman teman saya di Kairo dengan mahasiswa
Aceh yang juga teman saya di Kairo, bahwa mahasiswa Aceh di sana itu eksklusif,
tertutup, dan suka membanggakan suku sendiri (contohnya seperti penyebutan masyarakat
Aceh yang berubah menjadi rakyat Aceh). Seketika timbul pertanyaan di benak
saya : Kenapa dengan orang Aceh? Ada apa dengan mereka? Apa sebabnya teman saya
mengatakan seperti itu?. Lalu, saat saya meminta klarifikasi langsung dari
salah satu teman saya yang menjadi mahasiswa Aceh di sana via Facebook, saya
mendapatkan satu kesimpulan bahwa “Orang Aceh pernah punya pengalaman buruk di
masa lalu dengan orang Jawa”. Dan saat itu saya baru teringat bahwa teman saya
yang salah paham itu adalah orang Jawa.
Pada awalnya pun saya
sempat agak terpengaruh juga dengan ucapan teman saya karena jujur saja, saya
paling tidak suka dengan orang yang sukuis (membanggakan suku sendiri lebih
baik dari suku yang lain) tapi saya juga tidak bisa menilai dari satu pihak
saja, saya harus mencari sendiri apa penyebabnya.
Pikiran saya langsung
tertuju pada cerita teman saya yang mahasiswa Aceh bahwa, “Mereka yang di
kuburkan di kuburan Kherkof Belanda di Aceh kebanyakan adalah orang-orang
Pribumi, bisa dikatakan orang-orang Jawa yang meninggal di Aceh karena termakan
taktik devide et impera-nya Tentara Belanda juga ikut di kubur di situ”. Tak
hanya itu, saya langsung teringat dengan komentar Pramudya Ananta Toer terhadap
Novel Bidadari Hitam yang di tulis oleh T.I Thamrin-orang Aceh asli, “Setiap
kali ada yang datang dari suku Aceh, saya selalu minta maaf sebagai orang Jawa.
Sudah lebih 100 tahun orang Jawa memerangi Aceh, saya ikut-ikutan bersalah…”.
Dialog-dialog yang ada
di dalam Novel tersebut pun membuat saya jadi makin penasaran dengan apa yang
terjadi pada Aceh di masa lalu…
“Tidak, nong. Nama kita
semua adalah Aceh. Karena itu kita memang bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa
di mata orang Jakarta. Aceh yang pernah menolong dan memberi makan mereka,
membelikan mereka 2 pesawat terbang, membiayai NKRI yang lagi terjepit ekornya.
Tapi, ketika mereka sudah berani mengambil sendiri di lumbung kita, mereka
melecehkan, memburu dan membunuh kita seperti kecoak. Kita bilang, silahkan
ambil tapi jangan mencuri dan jangan kemaruk, lalu mereka marah besar, menuduh
kita pemberontak, karena itu wajib dibunuh. Perempuan kita yang melawan juga
diburu dan diperkosanya, seperti tak malu pada Ibu dan saudarinya sendiri.
Seperti Ibu dan saudarinya bukan perempuan saja.”.
Timbul banyak pertanyaan
yang sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh saya, “Ada apa dengan Aceh pada
masa lalu? Kenapa Aceh pernah sangat ingin memisahkan diri dari NKRI? Bagaimana
hal itu bisa terjadi? Alasan apa yang menyebabkan Aceh sampai ingin bergabung
dengan NII dan mendirikan DI/TII atau GAM? Kenapa Pemerintah pada jaman dulu
(era Presiden Sukarno sampai Presiden Megawati) harus bertindak brutal, kejam
dan sadis hanya karena ingin mempertahankan Aceh untuk tetap di wilayah NKRI?
Kenapa cara-cara tersebut harus di lakukan oleh Pemerintah?”
Dan dari situ saya baru
menyadari bahwa ada potongan sejarah lain yang belum saya ketahui dari Aceh.
Aceh masa lalu adalah Sebuah Negara.
Tak etis rasanya bila
saya tidak menceritakan saat Aceh masih menjadi sebuah negara yang berdiri sendiri.
Sejarawan Said ‘Alawi
Thahir al-Haddad dalam bukunya “Al-Madkhal ilaa Taarikh al-Islam fi al-Syarq
al-Aqsa” menyebutkan satu dokumen kuno dari Dinasti Yang di Cina, yang
menceritakan pada tahun 518 M telah datang kepada raja Cina utusan dari kerajaan
Puli yang terletak di ujung utara pulau Sumatera (kerajaan Puli adalah kerajaan
Puli atau Indra Puri yang memang telah ada di Aceh sebelum Islam datang.
Namun, karena kesulitan
mengucap huruf R dalam dialek Cina, maka berubah menjadi L sehingga tertulis
“Puli” dalam dokumen Dinasti Yang tersebut. Sisa-sisa dari kerajaan ini masih
bisa ditemukan di kawasan Indra Puri, Aceh Besar). Dokumen ini juga
menceritakan bahwa kerajaan Puli terbagi dalam 136 wilayah dengan luas wilayah
50 hari perjalanan kaki dari utara ke selatan dan 20 hari perjalanan kaki dari
barat ke timur. Dokumen ini membuktikan bahwa sejak abad ke-6 M, orang-orang
yang mendiami daerah pesisir Aceh telah mengenal suatu tata cara kehidupan yang
berperadaban cukup maju dibanding kawasan-kawasan lain di Nusantara, kecuali
kawasan pinggiran sungai Mahakam di Kalimantan Timur, dimana kerajaan Hindu
Kutai telah berdiri sejak abad ke 5 M, begitu juga kawasan Jawa Barat dengan
kerajaan Taruma Negaranya.
Daerah pesisir utara
Aceh mulai disinggahi para pedagang Muslim dari Malabar di India atau langsung
dari Jazirah Arab pada abad ke-7 M (1 H), sebagaimana disebutkan L. Van Rijck
Vorsel dalam bukunya “Riwayat kepulauan Hindia Timur”. Ia juga menyebutkan
bahwa orang-orang Arab telah lebih dahulu tiba di Sumatera 750 tahun sebelum
kedatangan Belanda ke sana.
Namun, kerajaan Islam
baru muncul pada awal abad ke-9 M. Di antara kerajaan-kerajaan Islam yang
pertama di Aceh adalah kerajaan Peureulak di pesisir timur Aceh yang berdiri
pada tahun 804 M, kerajaan Lamuri dan Samudra Pasai di pesisir utara Aceh.
Pada awal abad ke 16 M,
berdirilah kerajaan Islam Aceh Darussalam yang berbentuk kesultanan Aceh dengan
raja pertamanya Sultan Ali Mughayat Syah (1513-1530) putra dari sultan Syamsu
Syah dan cucu dari sultan Inayat Syah dari kerajaan Lamuri. Kerajaan Aceh
Darussalam yang lahir pada tanggal 12 Dzulqa’idah 916 (1513 M) adalah sebuah
kerajaan Federasi yang terdiri dari kerajaan Islam Peureulak, kerajaan Islam
Samudra Pasai, kerajaan Lamuri, kerajaan Islam Lamno Jaya, kerajaan Islam
Lingge, kerajaan Islam Pedir dan kerajaan Islam Teuming. Peleburan
kerajaan-kerajaan Islam Aceh dalam satu wadah itu kemudian diberi nama kerajaan
Aceh Raya Darussalam, atau lebih dikenal dengan proklamasi Samudra Pasai.
Kerajaan Aceh Darussalam
mencapai masa keemasannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1607-1636). Ia mampu menempatkan kerajaan Islam di Aceh pada peringkat kelima
di antara kerajaan terbesar Islam di dunia pada abad ke 16. Kelima kerajaan
Islam tersebut adalah kerajaan Islam Turki Utsmani di Istanbul, kerajaan Islam
Maroko di Afrika Utara, kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah, kerajaan Islam
Akra di India dan kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara. (Mutiara Fahmi,
tesis: Gerakan Kemerdekaan di Aceh dalam pertimbangan Hukum Islam, 2006, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, hlm. 70-72)
Lalu kenapa Aceh pernah sangat ingin
memisahkan diri dari NKRI?
Berikut ini adalah
beberapa faktor kenapa Aceh pernah ingin memisahkan diri dari NKRI:
Sikap pemimpin RI yang
dipandang oleh Tgk. Daud Beureueh telah menyimpang dari jalan yang benar.
Karena pada waktu itu
Presiden Sukarno pernah berjanji memberikan hak kepada Aceh untuk menyusun
rumah tangganya sendiri sesuai dengan syari’at Islam dan janji tersebut tak
pernah diwujudkan. Hal ini diperkuat oleh pengakuan saksi dan pelaku sejarah
Tgk. H. Syech Marhaban Hasan yang menceritakan, saat kunjungan Soekarno ke
Aceh, Soekarno pernah meminta kepada Tgk. Daud Beureueh untuk membantu perang
bersenjata antara Indonesia dengan Belanda, Daud Beureueh menyanggupi asalkan
dengan 2 syarat : perang yang dikobarkan adalah perang Fisabilillah dan rakyat
Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan syari’at Islam di dalam daerahnya
apabila perang telah usai. Akhirnya Soekarno menyanggupi 2 syarat tersebut,
Namun, Daud Beureueh meragukan janji Soekarno dan meminta Soekarno untuk
menuliskan janjinya tersebut di atas secarik kertas. Melihat hal itu, Soekarno
langsung menangis terisak-isak dan merasa tidak dipercaya. Melihat Soekarno
menangis, Daud Beureueh menjadi terharu dan kemudian berkata, “Bukan kami tidak
percaya saudara presiden. Akan tetapi, hanya sekedar menjadi tanda yang akan
kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang”. Lalu
Soekarno menyeka air matanya dan menjawab: “Wallahi, Billahi, kepada Daerah
Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai
syari-at Islam. Dan Wallahi, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat
Aceh benar-benar nanti dapat melaksanakan syari’at Islam di dalam daerahnya”.
Menurut keterangan Daud Bereueh, karena iba hatinya melihat Presiden menangis
terisak-isak, dirinya tak sampai hati lagi meminta jaminan hitam di atas putih
atas janji-janji Presiden Soekarno. (Ibid, hlm. 119-121)
Kekecewaan rakyat Aceh
saat status propinsi Aceh yang belum genap berumur setahun dibubarkan oleh
kebijakan Pemerintah Pusat dan menggabungkannya dengan Propinsi Sumatera Utara
(yang berbeda latar belakang serta kebudayaannya) dengan alasan yang cukup
ironis yaitu karena bertentangan dengan hasil kesepakatan Konferensi Meja
Bundar (KMB) yang hanya mengakui 10 propinsi dalam wilayah Republik Indonesia
Serikat (RIS). Padahal, RIS itu sendiri justru lahir dan mendapat pengakuan
Internasional karena masih adanya Aceh sebagai satu-satunya wilayah modal
Indonesia yang tidak dapat kembali di duduki oleh Belanda dalam perjuangan
fisik. (Ibid, hlm. 121)
Saat Aceh masih menjadi
sebuah Negara, Aceh tidak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada Belanda,
sehingga secara hukum, Aceh bukan Hindia Belanda dan dengan demikian saat
Hindia Belanda menjadi Indonesia, Aceh tidak secara otomatis berada di
dalamnya. Menurut teori Ilmu Negara dan Hukum Internasional, bangsa dan Negara
Aceh belum lebur tapi bermasalah. Hilangnya status suatu bangsa dan negara menurut
Sofyan Ibrahim Tiba, SH (juru runding Gerakan Aceh Merdeka) karena satu dari
dua alasan, yaitu alasan alam, seumpama buminya hancur atau tenggelam. Dan
alasan sosial politik, jika negara atau bangsa itu telah menggabungkan diri ke
dalam atau bersama bangsa lain. Oleh karena itu, menurut GAM, penggabungan Aceh
ke dalam Indonesia saat proklamasi 17 Agustus 1945 belum sah dan merupakan
kekeliruan ketata-negaraan. Aceh menurutnya, sejak proklamasi tidak pernah
menyatakan bergabung dengan NKRI seperti halnya Yogyakarta dan Kadipaten
Pakualaman melalui keputusan Kotikokootai (Dewan Perwakilan Rakyat) tanggal 19
Agustus 1945. (Ibid, hlm. 141-142)
Karena perlakuan tidak
adil dari pemerintah pusat terhadap Aceh. Seperti sikap sentralistik pemerintah
Orba terhadap Aceh yang telah melahirkan kesenjagan sosial-ekonomi yang cukup
mencolok di daerah istimewa Aceh. Sebagai contoh, penerimaan APBD propinsi
Daerah Istimewa Aceh tahun 1997/1998 hanya berkisar 150 milyar dari +/- Rp. 32
triliun yang disumbangkannya untuk negara pada tahun yang sama. Artinya, apa
yang diterima Aceh tidak sampai 0,5 % dari total yang disumbangkannya. (lihat
Said Mudhakar Ahmad, Masalah Aceh: Dilema antara Sikap, Martabat dan Rasa
Keadilan, Waspada (Harian), Medan 31 Agustus 1998). (Ibid, hlm. 82).
Alih-alih ingin
mengamankan situasi dari tindakan suatu gerakan yang disebut pemerintah Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) dengan memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM), banyak
korban sipil yang menjadi korban pelanggaran HAM berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan
(crimes against Humanity) dalam pemberlakuan status DOM tersebut. Seperti
adanya pembunuhan, adanya penyiksaan atau penganiayaan baik secara fisik maupun
mental, adanya penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, adanya kekerasan
seksual, adanya penghilangan paksa dll. (untuk mengetahui lebih jauh tentang
jumlah korban DOM, lihat buku yang ditulis oleh Al-Chaidar, (Ibid, hlm. 84).
Karena efek dari
kesalahpahaman teman saya inilah yang akhirnya membuat saya menjadi jatuh cinta
pada Aceh dan masa lalunya. Seharusnya mereka yang kontra terhadap pemberlakuan
syari’at Islam di Aceh dengan alasan karena terbentur dengan undang-undang yang
ada di atasnya bisa mengingat kembali janji dan sumpah Presiden Sukarno dulu
terhadap Tgk Daud Beureueh-khususnya pada rakyat Aceh.
kutipan dalam akun
fun page facebook “Sang Musafir Cinta”
disebutkan ditulis oleh
: Sarah Mantovani, SH.
sumber foto : muslimpoliticians.blogspot.co.id
Salah Paham Terhadap Aceh
Reviewed by Yudi Official
on
Maret 06, 2016
Rating:
Tidak ada komentar: