Pemilihan Legislatif pada 09 April bulan lalu baru saja
kita lalui, masyarakat masih ingat bagaimana ucapan ucapan dan janji para Caleg
jika mereka menang mewakili daerah pemilihannya masing masing, tidak lupa pula
ketika orasi terbuka para petinggi partai mengumbar janji di atas mimbar bak
hero yang akan menyulap semua keadaan jika mereka dipercaya kelak mewakili
rakyat di parlemen. Janji telah usai, sebagaian dari mereka dari berbagai
partai telah terpilih dan sebagian besarnya lagi menjadi caleg gagal
"gagal terpilih". Kita masih mengingat bagaimana isu isu dimainkan
secara sistemik, Partai A menjelekkan partai B, dan seterusnya.
Seperti tradisi tradisi sebelumnya, bahwa usai
pileg maka akan ada pilpres "pemilihan presiden". Pada pilpres kali
ini hanya ada 2 calon yang akhirnya bisa bertarung memperebutkan kursi RI 1 dan
kursi RI 2. Adanya dua calon yang bertarung di pilpres kali ini bukan semata
mata lansung saja bisa mendaftar, karena hasil pileg yang tidak mampu satupun
partai merebut suara sebanyak 25% akhirnya dipaksakan harus berkoalisi untuk
mengumpulkan persentase suara harus ada minimal 25% sesuai dengan peraturan
ambang batas yang disebut parlemen treeshod. Akhirnya bergabunglah para elit
elit parpol itu kedalam dua kubu yang akhirnya mencalonkan dua pasangan
presiden dan wakil presiden. Apa yang harus kita lihat, masih ingatkan kita
para caleg caleg yang ketika pileg menyebut partai A begini, partai B begitu,
partai C dan seterusnya begini begitu, hal hal negatif yang berada pada partai
lain di umbar kemasyarakat dengan maksud agar masyarakat tidak memilih partai
tersebut dan memilih partainya atau dirinya.
Tapi apa yang terjadi di pilpres?. Partai partai
yang dulunya dijelekkan akhirnya bergabung bersama dirinya, kemudian memuji
muji calon calon yang diusung bersama partainya yang disebut koalisi, dan
kembali menjelekkan kubu lawan yang di anggap saingan kubu partainya. Artinya
dalam politik memang "tidak ada musuh sejati yang ada hanyalah kepentingan
sejati" bagi partai politik sebenarnya tidak butuh kebenaran yang mereka
butuhkan hanyalah kepentingan dan kekuasaan yang harus direbutnya.
Siapa yang dirugikan?. Jawaban ini adalah yang paling
dirugikan masyarakat, ya masyarakat. Masyarakat adalah korban dari setiap
agenda politik yang ada disetiap periode dalam negeri ini, mereka digiring
dalam permainan isu para politikus yang sedang memperebutkan tahta kekuasaan,
bagi banyak masyarakat yang fanatik bahkan akan beradu fisik ketika berhadapan
dengan kubu yang di anggapnya lawan, padahal di elit politik mereka sedang
memainkan wayang fiksi yang sengaja memancing di air keruh sehingga memecik
kemarahan bagi kubu lawan, akhirnya masyarakat yang fanatik akan terpancing
untuk beradu fisik dengan kubu lawannya.
Kita melihat bagaimana effek dari para pendukung
fanatik ini yang kemudian menjadi korban, beberapa kali kita mendengar kabar
dari media massa bahwa masyarakat pendukung kubu A bentrok dengan pendukung
kubu B, ada juga seperti Babinsa yang sempat heboh, hanya karena fanatisme,
independensinya sebagai aparat TNI pun tergadaikan akhirnya jabatannya
dipertaruhkan, kita juga melihat bagaimana jalinan silaturrahmi menjadi
renggang bagi masyarakat mendukung calon tertentu secara fanatisme.
Memang benar bahwa demokrasi hanyalah memecah belah
masyarakat, saat ini masyarakat dipecah dalam beberapa warna yang sering
dipleset dalam warna partai yang didukungnya. Tapi demokrasi telah menjadi
agenda wajib bagi bangsa Indonesia, tuntutan mahasiswa pada tahun 1998 telah
menghantarkan demokrasi terbuka, hanya saja masyarakat kita belum lah dewasa
dalam memahami politik, jangankan memahami politik, pendidikan politik saja
tidak diupayakan maksimal oleh penguasa negeri ini. Ada juga yang menyebutkan
bahwa pendidikan politik harus dijauhkan dari masyarakat, dengan begitu
kekuasaan sulit digoyahkan.
Politik peu broek gob (Politik Jelekin Orang) ini
memang menjadi lakon para elit politik, kemudian di ikuti oleh pendukung
fanatik, media massa, media digital dan media sosial tidak lagi menarik, sebab
kebencian lebih banyak di umbar, apalagi yang kita cari jika politik hanya
mengumbar bahasa sirik, apa yang kita dapat selain dosa yang terus bertambah.
Sedangkan mereka elit politik dan para calon yang bertarung memperoleh
kekuasaan dan pelayanan bak raja yang baru menang dari perang.
Politik Peu Broek Gop
Reviewed by Anonim
on
Juni 17, 2014
Rating: