Pada suatu
masa di tanah Aceh, tersebutlah tujuh pemuda yang berniat
menunaikan ibadah haji ke Makkah. Tapi mereka sama sekali tak punya uang untuk
mengongkosi perjalanan itu. Ketujuh pemuda itu pun kemudian berembuk.
“Wahai
saudaraku, apa kalian punya ide bagaimana caranya agar kita bisa sampai ke
Makkah?” tanya salah satu dari pemuda itu kepada rekan-rekannya. Lama tak ada
yang menjawab. Semua diam seribu bahasa. Dan, pada akhirnya pemuda tadipun
mengusulkan, “Bagaimana kalau kita pergi ke bandar, tempat berlabuhnya kapal
yang akan mengangkut jamaah haji.”
“Apa yang
akan kita lakukan di sana, wahai saudaraku? Kita tidak punya uang.” Seorang
pemuda lainnya menjawab. Suasana kembali hening. Padahal mereka sudah sangat rindu
akan Tuhannya. Beribadah langsung di depan Ka’bah. Di Makkah Al-Mukarramah.
Dalam keheningan itu, seorang pemuda lain memberi ide. “Bagaimana kalau kita
meminta pekerjaan kepada pemilik kapal. Sebagai gantinya kita tidak perlu
dibayar, asal bisa ikut ke Makkah.” Ide itupun disambut gembira oleh
keenam pemuda lainnya.
Beras dan
lauk pauk kemudian disiapkan sebagai bekal perjalanan dari kampung halaman
mereka di Timur Pedir ke bandar di Kutaradja. Perjalanan kaki yang membutuhkan
waktu lima hari lamanya. Ketujuh pemuda itu bahkan tak punya uang untuk membeli
kuda. Bukan tidak berusaha, mereka telah mencoba mencari tumpangan kepada calon
jamaah haji lainnya yang pergi ke bandar dengan kereta kuda. Tapi tak ada yang
bersedia memberi tumpangan.
Akhirnya pergilah
mereka dengan segala kemungkinan risiko yang telah siap dihadapi. Apalagi untuk
sampai ke bandar harus menempuh perjalanan naik dan turun gunung. Melewati
bukit terjal dan hutan lebat untuk memperpendek jarak tempuh. Bukan tak mungkin
binatang buas akan menerkam ketujuh pemuda itu. Tapi sejak niat menunaikan
ibadah haji muncul, jiwa dan raga sudah diikhlaskan kembali kepada Tuhannya.
Mereka juga rela bekerja di kapal tanpa dibayar, walau perjalanan ke Mekkah
harus ditempuh dalam waktu berbulan-bulan. Siang dan malam. Dengan ombak yang
kadang besar dan arah mata angin yang tidak menentu.
Puncak
ibadah haji akan dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah setiap tahun Hijriah.
Menurut kabar yang mereka dengar, kapal yang menuju Makkah akan berlayar pada
awal bulan Sya’ban. “Mari kita berangkat wahai saudara-saudaraku!” Saat itu
minggu ke tiga di bulan Rajab. Seorang pemuda ditunjuk sebagai pemimpin. Mereka
mengenakan pakaian serba putih. Bekal yang telah dibungkus menjadi tujuh bagian
diletakkan di atas bahu masing-masing dengan penyangga tongkat kayu.
Mereka lalu
berjalan beriringan. Hari berganti hari. Matahari telah lima kali terbenam.
Tapi ketujuh pemuda itu belum juga sampai ke bandar. Sementara bekal yang
mereka bawa semakin menipis. Hanya tersisa lauk tanpa beras. Sementara tenaga
mulai melemah. Seorang di antara pemuda itu malah jatuh sakit. Badannya
menggigil dan panas. Tapi satu hal yang tidak pernah dilupakan ketujuh pemuda
itu; menunaikan shalat lima waktu tepat waktu, dengan petunjuk bayangan tubuh
di siang hari. Merekapun bersyukur tidak ada binatang buas yang mengganggu
selama perjalanan.
“Wahai
saudaraku, matahari telah lima kali terbenam dan enam kali terbit, tapi kita
belum juga sampai ke bandar. Aku takut kita tersesat di tengah hutan belantara
ini.” Pernyataan pemuda tadi menyadarkan rekan-rekannya yang lain. Rupanya
pemuda tadi mencoret satu garis dengan kapur tiap kali matahari terbenam dan
terbit di tongkat kayunya. Ia sadar saat menghitung jumlah garis itu.
Ketujuh
pemuda itu akhirnya kembali berembuk dan memutuskan untuk beristirahat sejenak.
“Lihatlah wahai saudaraku, di sana sepertinya ada permukiman penduduk. Lihatlah
asap-asap itu!”
“Iya, wahai
saudaraku. Sepertinya kita bisa mencari bantuan ke sana dan meminta sepiring
nasi untuk rekan kita yang sakit,” ujar seorang pemuda.
“Tapi siapa
yang akan ke sana? Sedangkan kita harus berbagi tugas untuk mencari sumber mata
air, kayu bakar, dan buah-buahan dari pohon hutan yang bisa dimakan. Belum lagi
menjaga rekan kita yang sakit,” sahut pemuda lainnya. “Lagi pula perjalanan ke
sumber asap itu harus menuruni lereng bukit yang terjal.”
“Bagaimana
kalau saya seorang diri yang ke sana.” Pemuda yang ditunjuk sebagai pemimpin
menawarkan diri. Usul itu akhirnya disepakati juga. Seorang di antara mereka ditugaskan
menjaga rekannya yang sakit. Dua orang mencari kayu bakar dan bekal dari pohon
hutan yang bisa dimakan. Dua lainnya pergi mencari sumber mata air.
Dan,
berangkatlah kelima pemuda itu untuk menjalankan tugasnya masing-masing.
Seorang pemuda turun ke kampung mengikuti arah asap dengan pakaian lusuh. Bukit
terjal dan tubuh yang mulai tergores bebatuan runcing hingga mengeluarkan darah
bukanlah halangan. Yang ada dipikirannya adalah bagaimana ia bisa mendapatkan
sepiring nasi, agar rekannya cepat sembuh dan bisa melanjutkan perjalanan ke
bandar.
“Syukur kami
kepada-Mu, Tuhan.” Hanya kalimat itu yang terucap dibibirnya saat ia melihat
permukiman penduduk. Ada banyak orang berkumpul di sebuah rumah. “Saya harus ke
sana. Sepertinya sedang ada hajatan.” Bisik pemuda itu di dalam hati.
“Maaf, wahai
ibu-ibu ahli surga. Apakah di sana sedang ada hajatan?” tanyanya, menunduk.
Kala itu ia berpas-pasan dengan sekelompok ibu-ibu.
“Di rumah
besar milik bangsawan itu?” Seorang ibu berdandan tusuk ronde balik bertanya,
sinis.
“Iya.”
“Apakah
engkau yakin mau ke sana?” Seorang ibu lainnya kembali bertanya dengan mata
yang menyapu bersih penampilan pemuda itu, dari ujung kaki hingga ujung rambut.
“Mohon
pamit, ibu-ibu.” Pemuda tadi akhirnya bergegas pergi. Menghindari prasangka
yang mungkin timbul.
Sampailah ia
ke rumah yang dituju. Disapanya orang-orang yang hadir pada acara hajatan itu
dengan sopan. “Bolehkah saya meminta sepiring nasi? Teman kami sedang sakit di
tengah hutan sana.” Pemuda itu memperhatikan ke sekelilingnya. Tamu-tamu hadir
dengan perhiasan emas di tubuhnya. Mangkuk, garpu, dan sendokpun semuanya
berlapis emas.
Dilihatnya
orang-orang memperhatikan ia sambil menutup hidung. Tak lama berselang, seorang
pemilik rumah tiba-tiba keluar. Tapi bukannya memberi makanan, malah
mengusirnya. “Pergilah! Acara hajatan tidak jadi digelar. Engkau telah
mengacaukannya. Tak ada nasi untuk orang berpenampilan lusuh sepertimu,” bentak
pemilik rumah. “Kamu tau kalau hanya dari golongan para bangsawan yang boleh
menginjakkan kakinya di tanah Laweung Pedir ini?”
Akhirnya
pulanglah pemuda itu dengan tangan hampa. Teringat rekannya yang sakit dan
sangat membutuhkan makanan. Ia kembali ke gunung dengan perasaan tidak menentu
dan wajah lesu. Saat ia sampai, keempat pemuda lainnya telah kembali dan
berhasil melaksanakan tugasnya masing-masing. Hanya ia yang tidak berhasil.
“Kenapa
wajah engkau lesu, wahai saudaraku?” tanya pemuda yang sedang sakit.
“Maaf, wahai
saudaraku, saya tidak berhasil melaksanakan tugas ini dengan baik.”
“Janganlah
engkau bersedih, wahai saudaraku. Dibalik halangan dan musibah yang kita
hadapi, mungkin Tuhan telah merencanakan sesuatu yang terbaik untuk kita dan
hamba-Nya yang lain.”
Siang
akhirnya berganti malam. Tidurlah ketujuh pemuda itu dengan alas seadanya.
Hingga bulan sabit tepat di atas pemuda yang tadi turun ke kampung, ia belum
juga bisa tidur. Hanya memejamkan mata seadanya. Sebagai pemimpin, ia merasa
dirinya telah gagal. Ia lalu bangkit dan menunaikan shalat Tahajjud. Memohon
pertolongan kepada Tuhannya.
***
“Wahai
saudaraku, turunlah kembali ke kampung Laweung Pedir. Sekiranya kalian mendapati
rumah-rumah di sana telah berubah menjadi gua-gua dengan batu-batu yang
berbentuk nasi kulah, ranjang, pelaminan dan berbagai macam rupa lainnya,
masuklah ke gua itu. Pilihlah tujuh gua untuk masing-masing kalian. Beribadah
dan bermunajatlah kepada Tuhanmu. Jika kalian ikhlas, percayalah, Tuhanmu tidak
pernah tidur dan kalian akan ditunjukkan jalan ke Makkah.” Seorang Aulia
tiba-tiba masuk ke dalam mimpi pemuda yang tadi bertahajjud kepada Tuhannya.
“Tapi
sebelum itu, berdakwalah di jalan Tuhanmu. Janganlah kalian membiarkan
orang-orang dalam kesesatan.”
Setiap kali
Aulia itu mengucapkan kata-katanya, di dalam tidurnya di atas sajadah cinta
kepada Tuhannya, pemuda tadi merasakan kalau bumi sedang bergetar hebat dan
dentuman keras menggelegar di mana-mana.
***
Matahari
pagi baru saja menyingsing. Ibadah dan puja puji kepada Tuhan usai sudah
ditunaikan. Pemuda yang semalam bermimpi bertemu Aulia Tuhannya berbalik arah.
Duduk melingkar di antara enam pemuda lainnya. Ia lalu menceritakan mimpi itu
kepada saudara-saudaranya. Dengan bibir yang bergetar, bulu kuduk yang berdiri,
dan hati penuh keyakinan akan kekuasaan Tuhannya.
“Kami yakin
itu adalah petunjuk dari-Nya,” ujar seorang pemuda, begitu ia selesai mendengar
ceritanya.
“Iya, saya
juga yakin,” sahut pemuda lainnya.
Akhirnya
bersepakatlah pemuda itu untuk turun ke kampung. Apalagi seorang rekan mereka
yang tadinya sakit telah kembali sehat. Betapa terkejutnya ketujuh pemuda itu
saat mendapati permukiman penduduk yang tadinya berdiri rumah-rumah besar telah
berubah menjadi lebih dari 30 gua.
“Kemana
gerangan penduduk kampung ini, wahai saudaraku?” tanya seorang dari mereka.
“Mari kita
lihat ke sekeliling!” ajak seorang pemuda lainnya.
Maka,
pergilah ketujuh pemuda itu menyusuri setiap sudut kampung Laweung. Hingga
akhirnya mereka menemukan penduduk dari golongan anak-anak di salah satu gua
yang dilindungi oleh batu menggelantung. Batu anti gravitasi yang tanpa
penyangga. Anak-anak tersebut lalu dituntun keluar gua. Tidak ada di antara
mereka yang tau apa yang terjadi. Anak-anak itu hanya ingat, malam sebelumnya
mereka tidur di rumah masing-masing, dan saat terbangun sudah berada di dalam
gua tersebut.
Bersama
anak-anak, ketujuh pemuda itu terus berjalan. Menyusuri setiap sisi gua hingga
lereng bukit. Mereka akhirnya menemukan juga penduduk kampung dari golongan
laki-laki dan perempuan dewasa. Semuanya dalam keadaan menggigil dan ketakutan.
Berselimutkan dedaunan-dedaunan pohon hutan.
Mendekatlah
ketujuh pemuda itu ke arah kelompok laki-laki dewasa. Anak-anak hanya termangu
di tempatnya berdiri. Penduduk kampung lalu bercerita tentang apa yang terjadi
semalam. Bumi yang berguncang hebat, malam yang gelap gulita, dan mereka yang
lari tunggang langgang menyelamatkan diri.
“Maha suci
Tuhan yang telah menjaga kita semua dan anak-anak yang masih suci ini.” Ketujuh
pemuda tadi tiada henti-hentinya memuja Sang Pencipta.
Secara
beiringan, mereka kemudian beranjak dari lereng bukit. Betapa terkejutnya
penduduk kampung saat melihat rumah mereka telah berubah menjadi gua-gua yang
terukir indah asma Tuhannya.
Seketika,
puja puji kepada Tuhan terdengar agung. “Maafkan kami wahai kekasih Tuhan dan
pewaris Nabi!” ujar seorang di antara warga kampung. “Maafkan atas perilaku
kasar dan tidak bersahabat dari kami.”
“Mohon
ampunlah kepada Tuhan. Kami sudah memaafkan kalian semua.”
***
Hari-hari
berikutnya, tinggallah ketujuh pemuda itu di kampung Laweung Pedir. Berdakwah
dan mengajari penduduk kampung dari golongan anak-anak hingga orang dewasa,
membaca dan memahami firman-firman Tuhannya. Mencerna sabda Nabi mereka, agar
tau apa-apa yang diperintahkan Tuhan dan apa-apa yang dilarang.
Matahari pun
terus berputar pada porosnya. Terhitung 120 kali terbit dan terbenam sudah.
Melewati Sya’ban, Ramadhan, hari kemenangan di bulan Syawal, hingga Dzulkaidah.
Kini tibalah bulan Dzulhijjah. Bulan kerinduan. Berpamitlah ketujuh pemuda itu
kepada penduduk kampung. Pergi beribadah dan bermunajat kepada Tuhan mereka di
dalam gua. Menemukan jalan ke Makkah.
Shalat
Istikharah pun ditunaikan. Setelah itu mereka memilih sendiri gua yang akan
ditempati. Tanpa harus berembuk. Tanpa saling berebut. Tuhanlah yang telah
mencondongkan hati mereka. Masing-masing membawa tongkat kayu yang ditancapkan
di tanah sebagai petunjuk datangnya waktu shalat. Merujuk pada bayangan sinar
matahari ciptaan Tuhannya. Sinar yang tembus melalui celah-celah dinding gua.
Mereka
beribadah dan bermunajat kepada Tuhannya dengan penuh keikhlasan. Hingga di
hari ketujuh pemuda itu berada di dalam gua, terdengarlah gema, “Labbaik
allahhumma labbaik.”Membangunkan penduduk kampung yang tengah terlelap
dalam tidur. Bulan terang, bintang yang berkelap-kelip, memberi cahaya terang
untuk ikut melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Penduduk kampung lalu
bersepakat melihat ke gua dalam tujuh bagian. Sambil memuja Tuhannya, mereka
terus berjalan. Gema “Labbaik allahhumma labbaik” kian
terdengar jelas. Tapi, betapa terkejutnya penduduk kampung, satupun di antara
mereka tidak ada yang bisa melihat ketujuh pemuda itu. Hanya tongkat kayu yang
masih tertancap di tempatnya.
***
Alkisah,
tersiarlah kabar ke seantero tanah Aceh tentang tujuh pemuda yang pergi ke
Makkah setelah beribadah dan bermunajat kepada Tuhannya di dalam gua di Laweung
Pedir. Maka, berbondong-bondonglah di antara penduduk tanah Aceh lainnya untuk
meniru hal serupa. Tapi, bukannya mendapat perlindungan dari Tuhannya untuk sampai
ke Makkah, mereka malah keluar dari gua yang mereka masuki dengan berbagai
macam kondisi dan rupa. Ada yang seluruh tubuhnya kemerah-merahan. Ada juga
yang muka dan matanya lembam. Tidak ada yang berhasil.
Menunggulah
para penduduk di depan gua yang tujuh. Berharap bisa menemui ketujuh pemuda itu
seandainya kelak pulang. Tapi, hari berganti hari. Malam berubah siang. Siang
kembali menjadi malam. Yang ditunggu tak jua kembali.
Di suatu
malam, ketujuh pemuda itu lalu datang melalui mimpi seorang penduduk.
Berpesanlah mereka, “Wahai hamba-hamba yang dikasih Tuhan, tidak perlu kalian
menunggu kami kembali. Jangan pula kalian meniru-niru suatu pekerjaan yang mana
kalian tidak punya ilmu untuk itu. Menuntutlah kalian semua di jalan Tuhanmu,
agar tidak tersesat di alam kehidupan ini.”
Pesan itu
kemudian disampaikan kepada penduduk lainnya. Merekapun akhirnya menjadi sadar
bahwa Tuhan akan meninggikan orang-orang beriman dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Begitulah Tuhan menjaga para Aulianya || teungkumalemi.blogspot.com
Legenda Gua Aulia 7 Yang Tembus Ke Mekkah
Reviewed by Yudi Official
on
Mei 01, 2015
Rating:
Tidak ada komentar: