Baru baru ini tepatnya pada tanggal 02 Mei 2015 pada
koran Harian Serambi Indonesia halaman pertama kita dihebohkan dengan sebuah
Qanun yang baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Utara
(DPRK Aceh Utara), munculnya Qanun tersebut menuai pro kontra dikalangan
masyarakat, baik yang mendukung dan baik yang kurang setuju dengan Qanun
tersebut, kedua pihak tersebut memiliki pendapat dan argumentasinya tersendiri.
Qanun yang membahas tentang kemaslahatan
dan ketertiban umum yang salah satu isinya mengatur pemisahan ruang belajar
laki-laki dan perempuan mulai tingkat SMP sederajat hingga bangku kuliah.
Pemisahan juga berlaku untuk pengunjung wanita dan pria pada objek-objek wisata
yang ada di Aceh Utara.
Terlintas dibenak saya, jika hal itu
benar benar dilakukan, maka tentu saja gedung gedung sekolah harus ditambah
pembangunannya, tapi jika kemudian nanti penerapannya berkembang kekantor
pemerintahan, maka tentu saja kantor kantor pemerintahan juga harus ditambah
pembangunannya. Mengapa tidak Aceh kita pisahkan saja menjadi 2, ada Provinsi
Inong Aceh dan ada Provinsi Agam Aceh. Jangan ada lagi perkembangan isu Provinsi Ala dan
Provinsi Abas. Cukup dua Provinsi Saja yaitu Inong Aceh dan Agam Aceh, biar kita benar
benar bersyariat secara fisik (cover), bukan isinya (manusianya).
Sesuai informasi yang ditulis oleh
Serambi Indonesia, Qanun tersebut berisi sembilan bab dan 34 pasal. Dalam Bab
IV pasal 17 ayat 2 mengatur ketentuan tidak boleh berboncengan laki dan
perempuan yang bukan muhrim dengan sepeda atau sepeda motor, kecuali dalam
keadaan darurat/mudharat. Pada ayat selanjutnya, tidak boleh bermesraan antara
laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim di dalam kendaraan.
Dalam sejumlah pasal dan bab yang
terdapat dalam Qanun tersebut, yang menjadi heboh dan memunculkan kegaduhan di
media sosial masyarakat Aceh adalah, tentang penerapan pemisahan ruang belajar
laki-laki dan perempuan mulai tingkat SMP sederajat hingga bangku kuliah,
pertanyaan yang muncul dimasyarakat adalah, jika Qanun tersebut demi menjalankan
syariat islam, mengapa yang harus dipisahkan adalah tempat tempat pendidikan,
padahal masih banyak lainnya seperti kantor pemerintah, gedung DPRK, pusat
perbelanjaan, angkutan umum dan banyak lainnya.
Berikut adalah kutipan antara pro dan
kontra terhadap pengesahan Qanun tersebut yang disuarakan oleh masyarakat
melalui Media Sosial Facebook.
Mukhlisuddin Marzuki : Kebijakan
yang bernuansa agamis....berilah dukungan.....kalo tidak kita...siapa lagi....
Bayer Forester :
Sekalian guru perempuan ga boleh ngajar di ruang laki-laki
Halodi Haka :
Dari lembaga pendidika sampai ke perkantoran lebih kalo laki2 dan perempuan
tidah satu ruang,dan jangan satu kantin jga antara laki2 dan perumpuan bail pun
di lembaga pendidikan mau pun di perkantoran,,,,,
Fauzan Rusdi :
kita dukung..! Kalau ada yg mempersoalkan, sudah pastilah pemahaman sekulernya
sudah permanen. Masalah tekhnis bisa diatur. Mau cari2 alasan apalagi? Gawat
that ka jameunnyo, perintah allah dan rasul dipersoalkan oleh orang islam yg
aceh pulak lagi. Ulok2!
Halodi Haka :
Harus di pisah juga medis dirumah sakit,,medis perempuan menangani pasien
perempuan dan jga sebalik nya,,,peraturan semacam itu harus di dukung,bukan
hanya di aceh utara semestinya wajib berlaku seluruh aceh,,,,
Zulkarnaini Masry :
Ukeu peuget mandum khusus ureung inong dan agam. Lagee pasai agam, pasai inong,
bus agam, bus inong. Ckup brat. Orang kita berbeda pandangan sedikit
dipeugah sekuler, hana aqidah. Kadang2 agak glie bak ta komen.
Raja Nagan : Kalau
menurut saya bukan kita pisahkan antara ruang belajar dan laki-laki di
pisahkan, tapi pendalaman aqidah, iman yang perlu di tanam dalam setiap
manusia, sehingga mereka tau mana yang harus mereka kerjakan dan mana yang
harus mereka tinggalkan,
Iyan Dorf : yang
dipisahkan bukan fisik. tapi hati melalui akhidah, akhlak dan nilai yang di
tanam.
Amier Pango :
Untuk bi keu contoh, bak kantow DPR, bak kantow bupati, bak kantow camat dan
bak kantow geuchiek ile diterapkan.
Komentar di atas adalah dari sekian banyak komentar
antara pro dan kontra, yang disuarakan oleh masyarakat Aceh terhadap pengesahan
Qanun tersebut, sebelumnya kita masih ingat, bahwa Lhokeumawe pernah dihebohkan
dengan sebuah Qanun tentang larangan ngangkang bagi perempuan di Lhokseumawe
ketika berboncengan motor. Qanun tersebut mendapat respon dalam skala nasional.
Tapi entah sampai sejauh mana sudah penerapannya kita tidak lagi mendengar
tindak lanjutnya terhadap implementasi Qanun tersebut.
Bagi saya, bukan tidak setuju dengan adanya penerapan
syariat Islam di Aceh, penerapan syariat Islam adalah mutlak di sambut gembira
oleh masyarakat Aceh, bahkan didukung penuh penerapannya, tapi ketika
penerapannya tidak didasarkan pada sebuah kebutuhan yang mendesak, maka wajar
saja masyarakat kemudian bereaksi terhadap pemerintah yang dinilai hanya
memikirkan fisik (cover) dalam penerapan syariat islam.
Padahal melihat kondisi masyarakat Aceh yang telah
dibayangi dengan gaya hidup arus globalisasi, maka kebutuhan yang paling
mendesak saat ini adalah penguatan akidah, penguatan kebudayaan dan pembinaan
secara masif, tapi sampai saat ini masyarakat tidak melihat adanya program dari
pemerintah untuk melakukan penguatan dan pembinaan kepada masyarakat secara
masif, yang hanya saat ini DPR disibukkan dengan pembuatan Qanun Qanun
kontroversial, dimana Qanun tersebut tidak didasari pada sebuah kebutuhan paling
mendesak.
Pemerintah disibukkan dengan pembangunan syariat Islam
secara fisik, untuk menampakkan (unjuk gigi) pada daerah lain bahwa Aceh sudah
menjalankan syariat Islam, tapi isi didalamnya (masyarakat) jauh dari nilai
nilai syariah. Padahal penerapan syariat islam tidak akan berhasil melalui
pembangunan fisik, tapi akan berhasil jika pemeritah serius melakukan penguatan
akidah dan pembinaan secara masih pada masyarakat Aceh untuk hidup berlandaskan
syariah.
Realitas yang nyata dapat kita lihat di Aceh, bahwa
masyarakat Aceh paling cepat dan gampang meng KAFIR kan orang lain, hanya
karena berbeda pandangan dengannya, kata kata kafir seolah olah menjadi
pembenaran bagi masyarakat Aceh. Padahal belum tentu orang yang menyebut orang
lain kafir ia lebih tau dan lebih paham permasalahan agama atau bisa jadi
akidahnya malah lebih hancur dibandingkan orang lain.
Begitu juga dengan budaya mengumpat dan membuka air
orang, seolah olah di Aceh hal ini seperti di anjurkan, kita sangat suka
membicarakan aib orang lain, bahkan ketika didapatkan orang mesum, maka satu
kampung tersebut dihebohkan dan mengumpat kemana mana, padahal orang yang
mengumpat tersebut kadang kadang juga kurang lebih sama dengan orang yang mesum
tersebut.
Maka dari itulah saya berpikir, bahwa kebutuhan yang
paling mendesak di Aceh adalah Penguatan Akidah dan pembinaan kultur kultur
budaya yang bersyariah, bukan penerapan fisik yang terus di genjot oleh
pemerintah terutama DPR, hanya karena ingin unjuk gigi, tapi nihil sebagai suri
tauladan.
Jika Akidah dan Aklak masyarakat Aceh sudah dibina dan
sudah bersyariah, maka penerapan pembangunan fisik tidak akan perlu harus
diterapkan melalui sebuah Qanun. Masyarakat sendiri nantinya yang akan
senantiasa menjalankan kehidupan yang berlandaskan syariah.
Lihat saja, tulisan ini pun pasti akan ada
yang berpikir bahwa saya ber paham sekuler dan yahudi, seperti coment pada
status Facebbok yang saya posting tentang Qanun tersebut, tidak masalah biar
saja mereka berpikir seperti itu, karena saya pun tidak menyembah mereka.
Bentuk Provinsi Inong Aceh Dan Provinsi Agam Aceh
Reviewed by Yudi Official
on
Mei 03, 2015
Rating:
Tidak ada komentar: