GAUNG kemerdekaan
Republik Indonesia menggelora dimana-mana. Rakyat Aceh menyambut gembira
setelah penantian lama yang dicita-citakan. Pekik Merdeka terdengar hingga ke
pelosok perkampungan. Bendera Merah Putih berkibar dengan gagahnya. Sang saka
kian mempesona tatkala angin bertiup mengibasnya. Penjajah Jepang hengkang,
kolonial Belanda pun telah lama menghilang. Aceh bebas, rakyatnya kini merdeka.
Tapi, kegembiraan rakyat
Aceh ini disambut dingin oleh raja-raja kecil aliasUleebalang. Penguasa
feodal yang telah lama mendapatkan keistimewaan semasa kolonial Belanda masih
mencengkeram. Mereka was-was dengan apa yang sedang terjadi. Khawatir atas
kekuasaan absolutnya yang segera akan berakhir. Sikap tidak senang terhadap
realita kemerdekaan Indonesia dari Belanda, jelas-jelas diperlihatkan oleh
penguasa feodal, yang sebagian besar pro kolonial. Salah satunya datang dari
Teuku Muhammad Daud Cumbok atau juga disebut Teuku Daud Cumbok. Rakyat Aceh
masa itu menyebutnya sebagai ampon/pon (panggilanuntuk Teuku) Cumbok.
Teuku Daud Cumbok adalah Zelfbestuurder
van Cumbok (setingkat Bupati), yang pusat kekuasaannya berada di
Lameulo (sekarang Kota Bakti), Pidie.
Pada tanggal 10 Desember
1945, para Uleebalang mengadakan rapat konsolidasi di Lueng
Putu (Pidie Jaya), tepatnya di rumah milik Teuku Laksamana Umar (M. Nur El
Ibrahimy, 2001: 121).
Pasca rapat yang
dilaksanakan oleh para Uleebalang di Lueng Putu, untuk
mewujudkan implementasi hasil keuputusan rapat, Teuku Daud Cumbok memulai
perang yang dikemudian hari dikenal sebagai perang Cumbok, Revolusi Sosial atau
Revolusi Desember. Perang ini menelan korban jiwa sekitar 1.500 orang
(Balipost, 20/05/2003).
SEKILAS TENTANG SISTEM
FEODALISME ULEEBALANG
Bila kita hendak
menelusuri siapakah Uleebalang dalam sejarah Aceh? Maka,
penjelasannya tidak akan cukup dituliskan dalam artikel yang singkat ini. Tapi,
mengapa mereka akhirnya berseteru dengan ulama dan rakyat Aceh? Semuanya
berawal setelah Kesultanan Aceh Darussalam dihapus oleh Belanda. Dikarenakan
sebagian besar Uleebalang memilih menjadi partner kolonial
Belanda, maka posisi istimewa akhirnya diberikan oleh penjajah kepada penguasa
feodal ini. Raja-raja kecil alias Uleebalang ini pun, lebih
memilih melayani kolonial Belanda ketimbang rakyat Aceh.
Dalam buku karya seorang
penasehat kolonial Belanda untuk urusan pribumi dan golongan Arab, dr. R. A.
Kern, yang berjudul Onderzoek Atjeh-Moorden(Pemeriksaan
Pembunuhan-Pembunuhan di Aceh), menjelaskan sebab Uleebalangmenjadi
’mesin penghisap darah’ rakyat Aceh. Kern jelas-jelas menyebut Snouck Hurgronje
sebagai biang keladinya. Menurut dr. Kern, Snouck lah yang mengusulkan kepada
Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia (kini Jakarta) agar posisi Uleebalang dan
penguasa feodal lainnya yang menentang ulama diperkuat. Padahal secara sosial,
Ulama lebih dekat dengan rakyat Aceh daripada penguasa feodal (Uleebalang). Konflik
Ulama dan Uleebalang memang telah dimulai semenjak sebagian
dariraja-raja kecil ini bekerjasama dengan kolonial Belanda. Diawali dengan
pengkhianatan Teuku Nek Meuraxa dan makin meruncing paska berakhirnya
Kesultanan Aceh Darussalam setelah jatuhnya Sultan terakhir Aceh, Muhammad Daud
Syah. Berlangsung, antara tahun 1903 – 1946.
Kern menyebutkan
kekuasaan Uleebalang mulai diperkuat setelah perang. Secara
ekonomis, mereka memperoleh lebih banyak kekuasaan karena menjadi pemimpin
perusahaan-perusahaan bisnis dan bekerjasama dengan pengusaha-pengusaha Barat
yang bergerak dibidang perkebunan atau pertambangan.
Bahkan Uleebalang berperan
dalam berbagai aturan sosial. Antara lain, Peradilan, Hukum Perkawinan,
pemberian beasiswa, dan lain-lain. Hingga posisi Uleebalangmenjadi
kebal hukum karena tidak ada perangkat yang dapat menggugat mereka. Akibat
kekuasaan feodalistik ini, rakyat Aceh tidak memiliki perlindungan hingga
menjadi pasif. (Kawilarang, 2008: 146)
PERANG CUMBOK BERKOBAR
Pada malam tanggal 10
Desember 1945, sebagai realisasi keputusan Lueng Putu, Teuku Daud Cumbok
mengambil inisiatif untuk menghukum tokoh-tokoh Pemuda Republik Indonesia (PRI)
dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), dengan menyerang 4 rumah dan toko-toko
yang dijadikan tempat berkumpul. Meskipun, penghuninya telah terlebih dahulu
menghindar.
Persatuan Ulama Seluruh
Aceh atau PUSA adalah organisasi yang menjadi wadah berhimpunnya sebagian besar
para Ulama di Aceh. Pembentukannya berawal dari Rapat Besar di Matang
Geulumpang Dua (Bireuen), pada tanggal 5 Mei 1939, dengan Teungku Muhammad Daud
Beureu’eh sebagai pemimpinnya setelah melalui proses pemilihan.
Kemudian, pada pukul 5
sore 11 Desember 1945, atas desakan Teuku Daud Cumbok, Uleebalang Samaindra
(Teuku Mak Ali) melakukan gempuran hebat terhadap Gampong Garot (Pidie), yang
menjadi markas gerakan rakyat melawan Cumbok.
Pada tanggal 20 Desember
1945, komplotan Cumbok melakukan aksi pembakaran madrasah (sekolah agama) di
Titeue (Pidie) dan Kantor Kehakiman di beberapa tempat.
Terdorong oleh
tindakan-tindakan Cumbok yang telah melampaui batas-batas kesabaran, Gerakan
Rakyat yang terdiri dari PUSA, PRI, dan lain-lain, melakukan konsolidasi
membentuk suatu badan perjuangan rakyat yang dinamakan Pusat Markas Barisan
Rakyat. Mengenai Pusat Markas Barisan Rakyat ini, Mr. S.M. Amin dalam bukunya
yang berjudul Kenang-Kenangan Masa Lampau menjelaskan sebagai
berikut:
”Dalam keadaan yang
demikian, rakyat umum yang menyebelah pada partij Ulama pun tidak tinggal diam.
Pada tanggal 22 Desember telah terbentuk suatu organisasi rakyat, yang diberi
nama ’Markas Besar Rakyat Umum’ yang sementara berkedudukan di Kampong Garot.”
”Organisasi baru ini
diterima oleh rakyat dengan semangat bergelora. Pernyataan – pernyataan
persetujuan dan bantuan – bantuan atas pembentukan Markas Besar inimenghujan
dari seluruh pelosok daerah di Aceh,” (136).
Sejak 30 Desember 1945,
antara rakyat dan Uleebalang telah terjadi perang yang
sesungguhnya. Rakyat Aceh mulai melakukan serangan balik terhadap aksi-aksi
brutal yang dilakukan Cumbok dan pengikutnya.
Pada tanggal 6 Januari
1946, rakyat Aceh dari beberapa daerah di luar Pidie berbondong-bondong menuju
Lameulo untuk mematahkan pertahanan Teuku Daud Cumbok beserta pasukannya. Dari
Bireuen, ada sekitar 1.000 orang rakyat Aceh yang ikut dalam satu rombongan.
Sedangkan anggota barisan yang sanggup memegang senjata kira-kira satu kompi.
Dengan senjata kurang lebih 100 pucuk. Diantaranya, terdapat beberapa senapan
mesin ringan dan satu senapan mesin berat dari Samalanga (M. Nur El Ibrahimy,
2001: 128).
Akhirnya, tibalah hari
pertempuran hebat antara rakyat Aceh melawan feodalUleebalang. Pada
tanggal 12 Januari 1946, dilakukan serangan umum terhadap kota Lameulo, benteng
inti pertahanan Teuku Daud Cumbok. Gempuran dari berbagai sisi dilancarkan oleh
rakyat Aceh terhadap Uleebalang yang sebelumnya pernah
bertindak semena-mena.
Keesokan harinya, tanggal
13 Desember 1946, pasukan revolusioner rakyat Aceh berhasil memasuki kota
Lameulo. Benteng Cumbok telah diduduki oleh rakyat. Kota Lameulo kembali
tenang. Rakyat dari berbagai pelosok datang ke Lameulo untuk memberikan selamat
kepada pasukan Revolusioner yang berhasil menang dan turut bergembira merayakan
kemenangan rakyat yang gemilang itu, dengan mendengungkan kalimat takbir Allahu
Akbar (M. Nur El Ibrahimy, 2001: 131).
Pada saat memasuki kota
Lameulo, orang yang dicari, yaitu Teuku Daud Cumbok sudah terlebih dahulu
kabur. Ia dan stafnya telah melarikan diri. Segera, pasukan revolusioner
bergerak cepat untuk melakukan perburuan terhadap Uleebalangkejam
ini, Teuku Daud Cumbok.
AKHIR PERANG CUMBOK
Setelah melakukan
pembantaian terhadap rakyat Aceh, Teuku Daud Cumbok berupaya untuk kabur ke
Sabang, yang pada waktu itu masih dikuasai oleh kolonial Belanda, partner
Uleebalang. Ini dilakukan agar dirinya terhindar dari pasukan
revolusioner rakyat Aceh yang sedang memburunya untuk diadili.
Pada tanggal 16 Januari
1946, upaya pelarian Teuku Daud Cumbok menuju ke Sabang harus berakhir di kaki
Gunung Seulawah (Aceh Besar). Ia bersama stafnya dibekuk oleh Barisan Rakyat
dari Seulimuem (Aceh Besar) yang dipimpin oleh Teungku Ahmad Abdullah.
Dengan berhasilnya
pembekukan terhadap Teuku Daud Cumbok, maka berakhirlah perang Cumbok yang
telah banyak menimbulkan kerugian harta dan korban jiwa dikalangan rakyat Aceh.
Disisi lain, keberhasilan
rakyat Aceh menumbangkan kekuatan besar sistem feodalisme Uleebalang di
Pidie, maka runtuhlah seluruh kekuasaan feodalUleebalang yang
pernah menguasai Aceh.
RAKYAT ACEH MERAIH
KEMERDEKAAN SEJATI DAN DEMOKRASI
Setelah Uleebalang di
seluruh Aceh ditumbangkan, landschap-landschap yang sebelumnya
berada dibawah kekuasaan feodal Uleebalang yang diberikan oleh
kolonial Belanda, diganti menjadi Kecamatan – kecamatan yang dipimpin oleh
Camat atas dasar sistem demokrasi yang bersumber pada Undang – Undang Dasar
1945.
Nama – nama landschap dan
kota – kotanya juga diubah, seperti landschapCumbok diganti menjadi
Kecamatan Sakti dan Kota Lameulo yang merupakan benteng pertahanan terakhir
Teuku Daud Cumbok ikut diganti menjadi Kota Bakti (M. Nur El Ibrahimy, 2001:
134).
Itulah sekilas sejarah
tentang peristiwa perang Cumbok, yang juga dikenal sebagai Revolusi Sosial atau
Revolusi Desember. Banyak pelajaran penting yang didapat dari peristiwa ini.
Perang Cumbok adalah sejarah masa lalu yang sangat kelam bagi rakyat Aceh. Jauh
sebelum peristiwa Cumbok, rakyat Aceh telah lama ditindas melalui sistem feodalisme
yang diterapkan oleh para Uleebalang, yang sebagian besar
berpihak kepada kolonial Belanda. Revolusi Desember ini menjadi awal rakyat
Aceh meraih kebebasan dan jauh dari bayang-bayang perbudakan, yang dahulunya
dijadikan layaknya ’Sapi perah’ oleh Uleebalang. Kebebasan
rakyat Aceh yang dulu pernah direnggut oleh Uleebalang, semoga
tidak pernah terulang kembali.
Sejarah menjadi cermin
untuk berkaca dan juga sebagai peringatan agar kita tidak lagi mengulangi
kesalahan yang sama. Semoga.
Oleh : Ruslan || sejarah.kompasiana.com
Perang Cumbok, Fase Kemerdekaan Sejati Rakyat Aceh
Reviewed by Yudi Official
on
April 30, 2015
Rating:
Tidak ada komentar: