Kita boleh saja
bangga, bahwa sebuah Negeri Aceh, yang kehidupannya di atur secara khusus dan
tertuang dalam Undang Undang Pemerintah Aceh Nomor 11 tahun 2006, meski Aceh
hanya sebuah provinsi, tapi kekhususannya membuat Provinsi ini berbeda dari
pada provinsi lain, ada banyak perbedaan yang provinsi lain merasa iri hati
untuk dapat menjadi seperti provinsi Aceh. Dalam UUPA Nomor 11 tahun 2006, ada
banyak kekhususan yang mengatur tentang Aceh diantaranya masalah Lambang,
Bendera, Pengelolaan Migas, Pemerintahan, Syariat Islam dan banyak lainnya,
dimana provinsi lainnya tidak memiliki hal akan itu.
Sejak penerapan
syariat Islam diberlakukan oleh Pemerintah Aceh, telah banyak lahir Qanun Qanun
yang mengatur tentang penerapan syariat Islam di Aceh, diantaranya Qanun Nomor 11 Tahun 2002, yang mengatur tentang
Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, Qanun Nomor 14
Tahun 2003, yang mengatur tentang Khalwat atau Mesum dan masih banyak Qanun
lainnya yang terus dan akan berkembang untuk mengatur dan memaksimalkan
penerapan syariat Islam di Aceh.
Sejak Aceh melakukan penerapan syariat Islam, telah banyak
hadir kegaduhan dan kehebohan di dunia nasional maupun internasional. Meski kegaduhan
itu adalah sesuatu hal yang wajar, akibat dari banyaknya media mainstream di
Indonesia dan dunia, dimana pemberitaannya menyudutkan agama Islam. Dan yang
kita sayangkan adalah penerapan syariat Islam di Aceh juga minim akan
keteladanannya.
Pemerintah, terutama DPR disibukkan dengan pembuatan Qanun
ini itu, tetapi minim aksinya. Sedangkan masyarakat terutama anak anak muda
malah diseret dalam gaya kehidupan hedonisme dan menjauhi kultur atau budaya asli
masyarakat Aceh. Lembaga lembaga syariat yang telah berdiri di Aceh pun
dikacaukan dengan minimnya kepedulian pemerintah seperti kuncuran dana dan visi
pemerintah terhadap konsep pembangunan Aceh bersyariat.
Seperti halnya Mahkamah Syari’ah, karena beralasan Mahkamah
Syari’ah adalah instansi vertikal, padahal dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh Nomor
11 Tahun 2006, pada Pasal 136 jelas disebutkan bahwa penyediaan sarana dan
prasarana serta penyelenggaraan kegiatan Mahkamah Syari’ah dibiayai dari APBN, APBA, dan APBK. Tapi dalam
kenyataannya sulit mendapatkan dana untuk penyelenggaraan kegiatan Mahkamah
Syari’ah dari APBA, sehingga pelaksanaan syariat Islam di Aceh mau tidak
mau berjalan ditempat, sedangkan Pemerintah dalam lembaga legislatif disibukkan
dengan penambahan penambahan Qanun.
Pogram Pogram pemerintah terhadap pembangunan manusia
bersyariat juga kian tidak tampak dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Pemerintah Aceh. Pemerintah lebih
melirik pembangunan yang bersifat fisik dan megah dibandingkan untuk membangun
karakter manusianya. Syariat Islam juga menjadi lip service, yang hanya hangat
diperbincang ketika menjelang pemilu atau pilkada, namun setelah itu irit
agenda.
Karakter masyarakat
yang fanatik terhadap Syariat Islam pun dijadikan sebagai strategi politikus
dalam meraup keuntungan suara disetiap agenda politiknya. Ulama Ulama hanya
didekati ketika menjelang pemilu atau pilkada, setelah itu dilupakannya. Begitu
pula dengan pelaksanaan syariat Islam, hanya akan di dengung-dengungkan ketika
menjelang pemilihan.
Bedasarkan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014
Tentang Pokok Pokok Syariat Islam, mengatur bahwa 5% dari Anggaran Pendapatan
Belanja Aceh harus dianggarkan untuk penerapan syariat Islam. Jika Pemerintah
serius untuk menerapkan syariat Islam, maka anggaran 5% dari APBA tersebut
harus dimaksimalkan pada pembangunan manusianya agar bersyariat. Karena manusia
yang syariah tentu akan lebih penting dibandingkan fisik syariat.
Grand desain syariat Islam harus dipikirkan
bersama sama untuk sebuah kebijakan jangka menengah dan panjang, supaya konsep
pembangunan syariat pun tidak tumpang tindih dan terkesan jalan masing masing
antar kabupaten di Aceh. Para Ulama harus diberikan ruang penuh untuk merancang
sebuah konsep Negeri yang bersyariat di Aceh.
Apakabar Syariat Islam ?
Reviewed by Yudi Official
on
Mei 23, 2015
Rating:
Tidak ada komentar: