Masyarakat Indonesia tidak lama lagi akan melaksanakan
pesta demokrasi 5 tahunan itu, meski dibungkus dengan nama pesta rakyat tapi
sebenarnya perebutan kekuasaan elit politik kata yang paling tepat untuk kita
sebutkan dan pelaksanaannya pun memakan waktu, tenaga, bahkan korban jiwa.
Aceh misalnya pada tahun 2014 ini sebagai tahun yang panas akan suhu politik
berapa banyak sudah korban, baik itu kekerasan fisik, pembakaran gedung dan kehilangan nyawa. Ditingkat
pejabat kelas tinggi pun hanya mampu memberikan pernyataan lewat media,
misalnya Gubernur Aceh yang beberapa kali menyampaikan imbauannya untuk menjaga
perdamaian dan saling menghargai antar sesama pendukung partai, agar kekerasan
dan perusakan dapat dihindari.
Kemudian seperti Kapolda Aceh baik yang lama
maupun yang baru dibeberapa kesempatan pun menyampaikan akan segera menangkap
dan mengejar pelaku serta mengusut tuntas segala tindakan yang bersifat politis
itu. Tapi faktanya mulai tahun 2009, 2012 dan saat ini 2014 setiap pelaksanaan
pemilihan legislatif maupun ekskutif, tindakan kekerasan yang bersifat politis itu tidak
semua terungkap, bahkan banyak kasus yang kemudian menghilang dan seperti dihilangkan
pengungkapannya.
Pada tahun 2014 ini
sederetan peristiwa kekerasan terjadi, belum lama suasana mencekam terjadi di
Takengon, ratusan simpatisan salah satu partai turun ke Takengon untuk mencari
seseorang yang di anggap sebagai provokator, akibat sebelumnya ada terjadi
pengrusakan kantor partai tersebut, disini kita melihat bagaimana kekuasaan
elit hukum lumpuh, penegak hukum yang seharusnya bertindak untuk melerai aksi
aksi tersebut melempem, lemah syahwat, bahkan ketika aksi balas dendam oleh simpatisan
partai itu pun, para penegak hukum lagi lagi terdiam lesu tak bisa berbuat apa
apa.
Sederetan kasus kekerasan
yang bermuatan politis tersebut memang terkesan ada pembiaran yang dilakukan
oleh para Polisi dan TNI, sehingga aksi kekerasan itu terjadi berulang ulang.
Pihak pelaksana pemilu pun seperti menutup mata atas sederetan kejadian
kejadian itu yang jelas jelas dilakukan oleh simpatisan partai tertentu, sampai
saat ini kita tidak melihat secuil peringatan dari pelaksana pemilu untuk
menghentikan segala bentuk penghakiman sendiri, tapi lihat bagaimana ketika
salah satu partai nasional yaitu PKS menghadirkan banyak anak anak pada
kampanye perdanannya di Gelora Bung Karno, media massa baik lokal dan nasional
bahkan komisi perlindungan anak heboh mengecam atas kampanye tersebut sehingga
ada pihak pihak yang meminta PKS didiskualifikasikan dari peserta pemilu,
padahal mereka hanya menghadirkan anak anak dan tidak satupun anak anak
tersebut yang meninggal akibat hadir di Gelora Bung Karno, tapi lihat perlakuan
para simpatisan partai lokal di Aceh, berapa banyak sudah korban akibat main
hakim sendiri itu.
Tidak adanya tindakan tegas
terhadap para simpatisan maupun partai yang melakukan kekerasan maka kejadian
tersebut selalu berulang ulang, belum lagi selesai masalah di Takengon,
kekerasan kembali terjadi di Aceh Utara, arogansi para partai lokal itu tentu
mencoreng nama baik Aceh, seolah Aceh terkesan sebuah daerah yang hanya
memperebutkan kekuasaan, apalagi kekerasan yang dilakukan dominannya oleh para
mantan GAM itu, kemudian muncul opini di masyarakat bahwa mantan GAM itu
sebenarnya hanya merebut kekuasaan, bukan memperjuangkan martabat bangsa Aceh.
Pembantaian gaya baru itu
tentu mengundang sederetan pertanyaan dikalangan masyarakat, misalnya dari pihak
LSM yang mengatakan "ada yang bermain di Aceh" seolah olah kata
tersebut memunculkan banyak spekulasi di masyarakat seperti kehadiran orang
ketiga yang sengaja memunculkan konflik baru di Aceh, tapi apakah benar bahwa
memang sederetan kasus kasus yang terjadi di Aceh itu dilakukan untuk
kepentingan tertentu atau memang di ciptakan untuk kepentingan politik tertentu
"politik adu domba".
Kemudian pernyataan Pangdam
beberapa waktu lalu dalam pertemuannya di Serambi Indonesia tentang "sikit
sikit lex spesialis", saya memang tidak mengetahui maksud dari pernyataan
Pangdam itu, seharusnya seorang Pangdam tidak layak mengeluarkan pernyataan
tersebut, karena bagi masyarakat seperti saya dan lainnya tentu memunculkan
berbagai spekulasi tentang pembiyaran yang dilakukan selama ini dengan
pernyataan tersebut, belum lagi adanya dugaan penyewaan senjata yang dilakukan
oleh oknum TNI untuk kemudian digunakan menembak posko Partai Nasdem di Aceh
Utara.
Saya sebagai orang awam
bukan dari kalangan TNI menyadari bahwa tidak mungkin seorang prajurit TNI
serta merta memberi senjatanya disewakan kepada oknum tertentu untuk melakukan
tindakan kejahatan, apalagi kejahatan yang akhirnya bermuatan politis. Saya
dapat menebak bahwa tidak seperti itu kronologis sebenarnya, tapi pasti ada
peristiwa lain yang dimainkan oleh orang orang tertentu di Aceh ini.
Apakah kemudian ini yang
disebut sebut dengan pembantaian gaya baru, yang dimainkan oleh para elite
elite, tidak cukupkah ratusan tahun darah Aceh berceceran, apakah Aceh
diciptakan sebagai bangsa untuk dibantai oleh kepentingan kepentingan elite,
jika begitu ambil saja Aceh ini, tapi berikan kami sebuah negeri yang tidak
ingin kau kuasai, agar kami bisa hidup tenang meski tak memiliki sumber daya
alam yang melimpah. Kami tidak ingin tanah yang memiliki sumber daya alam
melimpah ini akhirnya membuat kami menderita karena pertempuran elit terus saja
dimainkan di Aceh, agar kami rakyat kecil ini tidak bisa tenang untuk hidup.
Pembantaian Gaya Baru Ala Hitler Aceh
Reviewed by Anonim
on
Maret 23, 2014
Rating: