Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) usai dilantik pada tanggal 30
September 2014 yang lalu belum juga menyelesaikan tata tertib (tatib) hinga
menjelang 2 bulan usia menjabat sebagai DPRA periode 2014-2019, lambatnya kerja
anggota DPRA yang baru terpilih itu dalam penyusunan tatib menjadi tanda tanya dimasyarakat
Aceh terhadap kualitas anggota DPRA terpilih itu, padahal pekerjaan DPRA menjelang
akhir tahun menumpuk seperti pembahasan dokumen KUA dan PPAS untuk
dijadikan RAPBA tahun 2015, jika DPRA tidak bekerja cepat maka dipastikan akan
berimbas pada pembangunan Aceh pada tahun 2015. Usai dilantik plesiran DPRA
pertama adalah ke Jakarta yang dikemas dalam bentuk orientasi dengan tujuan untuk memberikan pemahaman sekaligus pengalaman dan kinerja
anggota dewan baru yang dilakukan dua tahap mulai 13 Oktober hingga 25 Oktober
2014, tentunya orientasi itu menghabiskan anggaran yang tidak sedikit
untuk kebutuhan perjalanan dinas 81 dewan tersebut.
Usai orientasi
dilaksanakan, kini DPRA difokuskan untuk pembahasan tatib, namun pembahasan
tatib tidak kunjung disahkan hingga memasuki tanggal 13 November, belum lagi
menunjukkan kerja nyata dan kontribusi kepada masyarakat, kini mereka lagi lagi
merencanakan plesiran ke Jakarta, Yogyakarta dan Papua yang dikemas dalam
bentuk studi banding.
Studi banding
yang direncanakan oleh tim panitia khusus (pansus) DPRA menjadi sorotan, salah satunya direktur Masyarakat
Transparansi Aceh (MaTA), Alfian secara tegas menyebutkan “perjalanan studi banding tatib
DPRA periode ini terkesan sangat aneh dan hanya akan memboroskan biaya daerah
untuk SPPD anggota dewan tersebut dan Ini baru pertama kali terjadi di
Aceh, selain memboroskon anggaran juga pengabaiaan terhadap regulasi yang ada,
termasuk UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Alfian
mempertanyakan urgensi studi banding yang harus dilakukan oleh tim pansus DPRA
tersebut (analisadaily.com).
Jika baru saja dilantik, anggota dewan sudah disibukkan
dengan studi banding, lalu patut kita pertanyakan terhadap kualitas anggota dewan
yang terpilih itu, sehingga pembahasan seperti tatib pun harus dilakukan studi
banding untuk merancangnya, studi banding memang menjadi hobi pejabat Negara,
selain bersenang senang dan dapat mengunjungi kota kota lain (liburan) dan
perginya pun gratis karena dianggap sebagai perjalanan dinas bahkan ditambah
uang saku, pantas saja jika anggota dewan selalu menunggu kapan waktunya studi
banding.
Padahal setingkat pembahasan tatib, Aceh dapat memegang acuan
UUPA, PP Nomor 17 dan UU Nomor 23 Tahun
20014 tentang Pemerintahan Daerah, bahkan dapat mengambil acuan pada
tatib anggota dewan periode 2009-2014, tapi lagi lagi dewan kita memilih studi
banding dengan argumentasi bahwa daerah daerah khusus itu (Jakarta, Yogyakarta
dan Papua) sudah membuatnya.
Jika saja anggota dewan kita yang terhormat itu sedikit lebih
peka terhadap kondisi masyarakat Aceh yang kian terjepit dalam ekonomi, mereka
tidak akan bernafsu melakukan studi banding yang menghabiskan anggaran rakyat
Aceh hanya untuk jalan jalan 26 orang tim pansus yang dikemas dalam bentuk
studi banding. Apalagi mereka baru saja dilantik dan belum memberikan
kontribusi apa apa kepada masyarakat kecuali hanya menghabiskan anggaran
rakyat.
Jika pembahasan tatib mereka sudah mengemasnya dengan studi
banding, maka pertanyaan saya selanjutnya “apakah nantinya pembahasan RAPBA
juga dikemas dengan studi banding” bisa jadi. Selain anggota dewan kita yang
terhormat butuh liburan gratis, juga sekalian butuh suasana baru, karena
terlalu lelah memikirkan nasib rakyatnya yang kian terjepit dalam suasana
ekonomi tak menentu.
Semoga kita rakyat diberi waktu pula untuk studi banding
kualitas wakil rakyat…..
Kemasan Studi Banding Dewan Aceh
Reviewed by Yudi Official
on
November 12, 2014
Rating: