Aceh
pasca MOU Helsinky tahun 2005 silam, unik dan menarik untuk kita cermati, rasa
geli, merinding, tersenyum, tertawa mungkin kata yang paling tepat untuk
menggambarkan kondisi Aceh saat ini atau istilah bahasa Aceh (gli gli mangat
bak takaloen Aceh). Pasca MOU hadir di Aceh 8 tahun silam, revolusi diberbagai
sektor terjadi di Aceh, uniknya sektor sektor tersebut tidak mampu menopang
perubahan secara reformasi yang terjadi di Aceh.
Kondisi Aceh pasca MOU tidak bisa menjadikan Aceh layaknya seperti mimpi para
anggota perunding tersebut, padahal jika kita membaca isi didalam MOU telah
menjadikan Aceh merdeka dalam bingkai Indonesia.
8 tahun sudah perundingan terjadi, berbagai kesepakatan yang
dirumuskan dalam perjanjian MOU Helsinky dari kehari semakin jauh dari harapan,
berbagai kesepakatan yang seharusnya sudah diselesaikan 3 tahun sebelumnya,
sampai sekarang tidak ada kejelasan
Berbagai kesepakatan yang pernah dirumuskan dalam perjanjian
tersebut banyak yang belum tersentuh, berikut beberapa di antaranya butir butir
perjanjian MOU Helsinky yang di kita anggap krusial namun belum dijalankan
sepenuhnya di aceh seperti (1) Pasal 1.1.2 Butir A, Disebutkan bahwa Aceh
berwenang mengatur semua sector Publik, berikut Administrasi Pemerintahan dan
Peradilannya (2) Pasal 1.1.5 Disebutkan bahwa : Aceh memiliki hak untuk
menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne (3) Pasal
1.3.1, Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak
untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank
Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia) (4) Pasal 1.3.2. Aceh berhak
melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta
menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh (5) Pasal 2.2.
Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh (6) Pasal 4.12.
Anggota polisi organik Aceh akan memperoleh pelatihan khusus di Aceh dan di
luar negeri dengan penekanan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia
Para anggota legislatif dan eksekutif di Aceh pun seperti nya
tidak punya kemampuan untuk menyelesaikan segala bentuk kesepakatan yang pernah
dirumuskan tahun 2005 silam, belum lagi, panjangnya proses administrasi yang
harus dijalankan oleh pihak Aceh terhadap perumusan perjanjian tersebut membuat
pihak pemerintah Aceh mati langkah dibuatnya.
Kemudian permasalahan yang substansial seperti penggunaan
wewenang masih terjadi saling tarik menarik, seperti kasus baru baru ini
tentang wewenang pembentukan banwaslu hingga akhirnya terjadi pembekuan
terhadap aset banwaslu bentukan pusat tersebut.
Malah Aceh semakin hari semakin geli dibuat oleh oknum oknum
yang tentunya punya kepentingan besar disini. Kasus penembakan, pembunuhan,
merebaknya isu pemecahan provinsi semakin membuat kondisi masyarakat Aceh
merinding dibuatnya. Seharusnya dengan adanya MOU, Aceh mampu bangkit dan
bersatu dalam mengelola segala wewenang yang telah dilimpahkan untuk Aceh
melalui perjanjian MOU Helsinky.
Tapi malah yang terjadi sebaliknya, dinamika yang terjadi di
Aceh semakin besar, kasus kasus perpecahan antar masyarakat semakin hari
semakin berdampak besar terhadap kondisi sosial di Aceh, ego sektoral di Aceh
semakin hari semakin tinggi, kemudian belum lagi sikap militan yang dipertonton
oleh kelompok yang merasa dirinya paling berhak terhadap MOU membuat
kesenjangan sosial di Aceh semakin melebar, hingga adanya kata kata istilah
awak kamoe dan awaknyan.
Lalu bagaimanakah kisah perjuangan Aceh untuk mengimplementasikan
perjanjian MOU Helsinky di Aceh se utuhnya, jika yang terjadi di Aceh adalah
perpecahan, kesenjangan sosial, ego sektoral dan berbagai dinamika lainnya.
Bagaimana Aceh mampu menuntut pemerintah pusat untuk memenuhi janjinya jika di
antara masyarakat sendiri tidak mampu bersatu.
Kemanakah perjanjian MOU Helsinky akan berakhir, revolusi
seperti apa yang terjadi di Aceh, melihat kondisi Aceh yang penuh dinamika
internal.
Lalu kemanakah para pemersatu yang mampu membuat masyarakat
Aceh bersatu seperti sebelum perjanjian MOU Helsinky. Bukankah masyarakat Aceh
pernah bersatu secara masif melawan segala bentuk ketidak adilan terhadap Aceh,
kenapa sekarang Aceh penuh ego sektoral, penuh ego kelompok, apa yang
diperebutkan dan kebenaran apa yang diperjuangkan, apakah kebenaran tersebut
harus membuat aceh terpecah belah.
Revolusi Aceh Pasca MOU
Reviewed by Anonim
on
Februari 22, 2014
Rating: