Kita lupa untuk sejahtera
hanya karena persoalan bendera yang belum selesai, padahal masih ada persoalan
yang paling mendesak terkait butir-butir
perdamaian yang tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki dan
turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang
dilupakan oleh para pemerintah saat ini, terutama para Anggota Legislatif se
Aceh. Apalagi cara untuk meningkatkan kesejahteraan disaat dana otonomi khusus
(otsus) sedang bergelimang di Aceh.
Banyak wewenang
Aceh yang manfaatnya menyentuh langsung terhadap kebutuhan masyarakat menjadi tidak
menarik bagi anggota legislatif maupun eksekutif. Disaat para anggota DPR se
Aceh Fraksi Partai Aceh ribut-ribut soal bendera, wajar saja masyarakat mencemoh
terhadap perihal itu, apalagi disaat masyarakat butuh kesejahteraan, wakil
rakyat malah butuh bendera dan sibuk terhadap aksi propaganda agar masyarakat
ikut bereaksi terhadap syahwat politik mereka.
Masyarakat
menganggap, wakil rakyat mengrespon terhadap persoalan bendera yang belum
selesai adalah sebagai “dagangan” menjelang pilkada 2017 mendatang, apalagi
persoalan bendera tak kunjung selesai disaat 2 periode sudah Aceh dibawah
kekuasaan Partai Mantan GAM tersebut, yang kemudian menjadi pertanyaan “pusatkah
salah terhadap persoalan ini, atau mereka yang tidak punya kemampuan
berdiplomasi”.
Mengapa
kemudian, isu bendera tidak menjadi menarik bagi partai politik lainnya, karena
partai lain tidak ingin bendera dijadikan lokomotif politik dan itu sepertinya
partai lain menganggap bendera sudah dipolitisasi untuk kepentingan Partai
tertentu, maka dari itu persoalan bendera tidak selesai hingga saat ini,
apalagi faktor diplomasi yang kaku dari para Partai mantan GAM.
Hubungan
partai mantan GAM dengan pusat selama ini tidak berjalan mulus, akibat dari
selalu beda persepsi tentang perjanjian MoU Helsinky. Pusat menganggap Partai
mantan GAM belum sepenuhnya meleburkan diri dalam bineka tunggal ika, sedangkan
Partai mantan GAM menganggap pusat belum sepenuhnya rela Aceh mengimplementasikan
perjanjian MoU Helsinky. Saling curiga tersebut yang kemudian membuat
ketidakpastian terhadap pembangunan Aceh kedepan.
Kondisinya,
persepsi publik dan pusat menganggap Partai mantan GAM menjadikan MoU Helsinky
kedalam kepentingan politik partai, bukan lagi pada kepentingan Aceh secara
bersama sama, sehingga persoalan tidak terimplementasinya MoU Helsinky akibat
dari kepentingan kepentingan politik lainnya yang saling tarik ulur dipusat.
Hal tersebut terlihat jelas didalam partai politik mantan GAM tersebut, disaat
menjelang Pilkada dan Pileg mereka mulai gencar berbicara perjanjian MoU Helsinky
yang tidak terimplementasi dengan melakukan propaganda terhadap masyarakat dan
mereka seolah olah lupa dan menutup diri tentang kekuasaan mayoritasnya
terhadap Aceh sudah 2 periode berlalu, baik di legislatif maupun eksekutif.
Ketidakmampuan
mereka mengimplementasikan perjanjian MoU inilah yang kemudian dikambing
hitamkan pusat dan selalu didagangkan dalam agenda kampanye politik partai.
Partai mantan GAM mengklaim merekalah satu satunya partai yang memperjuangkan
untuk terimplementasinya MoU Helsinky dan menuduh partai partai lain tidak
peduli terhadap hal ini, padahal mereka pula yang sebagai partai mayoritas di
Aceh tidak memberikan kesempatan dan ruang kepada partai lain untuk sama sama
memperjuangkan hal itu. Apalagi, MoU Helsinky dijadikan sebagai lokomotif
politik partai.
Lalu milik
siapakah Aceh ini, milik mantan GAM atau milik kita bersama-sama, sehingga yang
menjadi persoalan seluruh masyarakat Aceh pun tidak berhak kita perjuangkan
bersama-sama, karena sudah ada yang mengklaim “itu milik kami”. Kemudian mana
milik kita “milik masyarakat Aceh”
Partai Mantan GAM dan MoU Helsinky
Reviewed by Yudi Official
on
April 12, 2016
Rating:
Tidak ada komentar: