Nama besar pemimpin tertinggi Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) Hasan Tiro (1925-2010) bagi masyarakat Aceh adalah seorang “wali”.
Semasa hidupnya, Hasan Tori tergolong sebagai intelektual Aceh dan pribadi yang
gigih berjuang demi sebuah kesejahteraan. Kemerdekaan bagi Hasan Tiro sebagai
upaya untuk membawa rakyat Aceh untuk terlepas dari campur tangan ‘bangsa luar”.
Aceh perlu berdaulat untuk menemukan sekaligus menentukan diri sebagai sebuah
bangsa yang bermartabat di mata dunia.
Lewat penelitian selama 14 tahun tentang
jejak Hasan Tiro dan GAM, penulis muda Murizal Hamzah mampu melahirkan sebuah
buku sejarah. Buku ini menjadi penting karena mengupas secara detail tentang
kiprah Hasan Tiro. Mulai dari lahir hingga berpulang kepangkuan Illahi.
Sore itu, Murizal tampak terdiam sejenak. Pikirannya
se akan mengarah ke masa-masa pertikaian di Aceh belasan tahun silam. Mulai dari
perang saudara akibat Operasi Militer di Aceh 1990-1998, hingga tsunami yang
melanda Aceh pada tahun 2004 silam.
Sejurus, dia menarik napasnya perlahan. Diambilnya
segelas jus jambu seraya meneguknya. Sedikit terasa segar di kerongkongan sore
itu. “selama 14 tahun saya mengumpulkan data-data. Mewancarai narasumber utama
untuk melihat pemikiran-pemikiran tentang sebuah nation,” ujar Murizal saat berbincang santai dengan saya di sebuah
warung kopi dikawasan Jakarta Pusat, awal pecan ini.
Lelaki alumnus Jurusan Sosial Ekonomi,
Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, itu, pun berkisah
tentang buku tersebut. “awalnya, saya cetak dengan biaya sendiri. Namun,
beredar isu tentang tender buku ini yang mencapai miliaran rupiah. Itu semua
isu saja,” cetusnya.
Terlepas dari isu tender oleh Pemerintah
Provinsi Aceh terkait buku ini senilaian milaran rupiah, kehadiran buku Hasan Tiro : Jalan Panjang Menuju Damai Aceh
(Bandar Publishing, Syiah Kuala, Banda Aceh, Februari, 20105, cetakan
kedua) menjadi bukti. Sebagai anak Aceh, Murizal ingin meluruskan stigma-stigma
negative terkait sosok Hasan Tiro.
Lewat keuletan dan kejeliannya, Murizal pun
menggunakan daya pikirnya. Ia mewancarai petinggi GAM, memilah arsip dan
dokumen penting untuk menulis kipra Hasan Tiro di dunia Internasional. Buku setebal
676 halaman itu menjadi sebuah buku pertama yang mengupas Hasan Tiro secara
lengkap dan komprehensif. Ada berbagai data yang muncul secara kuat di buku
ini. Terutama, dokumentasi-dokumentasi rahasia GAM selama bergerilya di hutan
dan pegunungan.
Selama berkiprah dalam dunia politik,
sebagian orang akan menganggap bahwa Hasan Tiro sebagai seorang “penghianat”
NKRI atau mungkin saja sebagai “subversive”. Namun terlepas dari anggapan itu,
Murizal menemukan data mencengangkan. Hasan Tiro adalah pahlawan yang selalu
memikirkan kesejahteraan rakyat Aceh.
JALAN
TERJAL DAMAI
Kemerdekaan ialah hak segala bangsa
sebagaimana tertuang dalam petikan UUD 45. Disini, terlepas dari stigma negative
yang di alamatkan kepada Hasan Tiro, sebagai pucuk pimpinan GAM, Hasan Tiro
sesungguhnya tidak mau berpisah dengan Indonesia. Hanya saja karena ketidak
adilan ekonomi, keinginan pisah itu semakin mencuat, nilai Jusuf Kalla (hlm
79).
Hasan Tiro, sebagai seorang anak desa, ingin
agar masyarakatnya hidup makmur dan sejahtera kelak. Itu membuat dia dikenal
sebagai sesosok yang sangat memperhatikan cara berpakaian. Hasan Tiro sangat
berpegang teguh pada filsafat Hadih Maja yakni, geu takoot keu angkatan, geumalle keu pakayan (bangsa ditakuti
karena angkatan perang, manusia disegani karena pakaian rapi). Dalam ilmu
diplomasi, penampilan sangat penting. Dengan berjas dan berdasi, sinyal yang
ditebarkan, yaitu setara dan sejajar.
Kehadiran sesosok Hasan Tiro sebagai pucuk
pimpinan GAM merupakan warisan leluhur. Apalagi, Hasan Tiro sebagai wali neugara (wali Negara). Dia merupakan
keturunan langsung dari Tengku Cik di Tiro, dari pihak ibunya, yang
mengembangkan amanah perlindungan rakyat.
Dalam hal ini, Hasan Tiro mengambil risiko
sebagai pemimpin. Bukan seperti abang kandungnya, Zainoel Abidin Tiro. Wali Negara
berarti pengganti sementara sebelum pelanjut yang sah ditetapkan. Artinya,
sampai pada 1903, raja Aceh masih dijabat Sultan Alaidin Muhammad Daud Sjah
sebagai raja terakhir.
Wali Negara adalah penguasa tertinggi dalam
suatu Negara dalam kondisi darurat. Status wali Negara setingkat khalifah,
sultan, raja, kaisar, presiden dan perdana menteri. Wali Negara berbeda dengan
wali nanggroe. Wali Negara merupakan institusi tinggi dari mandataris Sultan
Aceh (hlm 439).
Buku ini juga mengupas tentang persoalan yang
terkuak dalam keputusan 3314 (XXIX), 14 desember 1974 dalam siding Umum PBB. Dalam
siding itu, ada butir penting, yaitu melarang semua Negara menggunakan kekerasan
terhadap bangsa-bangsa yang menuntut hak penentuan nasib diri sendiri.
Dari aspek hokum internasional, Hasan Tiro
berdalil, pergerakan yang dia motori, yakni untuk menghidupkan kembali gagasan Negara
tua (old state) alias Negara sambung
yang sudah ada. Tentu saja, keberadaan GAM untuk mengembalikan kemerdekaan Aceh
sebagai Negara sambung yang telah ada sebelum Indonesia merdeka.
Melalui paket old state, ada celah dalam konteks hukum internaisional bahwa “penyerahan”
Aceh ke Indonesia tidak sah. Sebab, Aceh tidak pernah ditaklukan Belanda. Dalam
pemikiran Hasan Tiro, kehadiran Aceh Merdeka bukan untuk mendirikan Negara baru.
Justru, menghadirkan Negara yang sudah ratusan tahun berkuasa, yang kemudian
digabungkan ke Indonesia.
Rakyat Aceh masih memiliki indetitas dan
entitas sebagai sebuah bangsa. Bukan sebagai sebuah provinsi. Aceh belum mengintegrasikan
jati diri sebagai bagian dari Indonesia. Pemahaman Hasan Tiro, territorial Aceh
tidak pernah masuk wilayah Hindia Belanda (Netherland
Indies). Terutama, mengacu Peta Royaume Dachem (Kingdom of Aceh) yang dibuat Prancis pada 1873. Dasar lain yang
digunakan, yaitu Peta Graphic (22 Desember 1883) buatan Inggris yang menunjukkan
Aceh sebagai Negara dan memiliki wilayah hukum territorial.
Buku Hasan
Tiro : Jalan Panjang Menuju Damai Aceh, mengandung hal menarik. Penulis
mencoba menunjukkan sisi lain Hasan Tiro sebagai seorang wali Negara. Bukan saja
keuletan sebagai pemimpin GAM yang lebih dari separuh hidup berlanglang buana
di Eropa. Hasan Tiro ternyata memiliki hati sangat kuat terhadap rakyat Aceh. Sehingga,
dia meninggalkan putra semata wayang, Karim Tiro, dan istrinya, Dora, untuk
kembali pulang ke Tanah Aceh.
Perjuangan Hasan Tiro menuju Aceh damai
memang penuh terjal. Hal ini tidak terlepas dari salah satu kutipan filsuf
Jerman. Friedrich Nietzsche yang dia sukai ; “ketika hidup sudah tidak lagi bias
terhormat, matilah secara terhormat”.
Sumber : Media Indonesia,
terbitan Minggu, 26 April 2015
Oleh Wartawan : Iwan J
Kurniawan, Edisi Cetak Halaman 11
Hasan Tiro Dan Daulat Aceh
Reviewed by Yudi Official
on
April 26, 2015
Rating:
Tidak ada komentar: