Polemik
eksekusi hukum Haji Bakry Usman, seorang pelaku khalwat, terus bergulir dan
masih menuai tanda tanya. Maklum, saat Pemko Banda Aceh secara tegas dan cepat
mengeksekusi sejumlah pelanggar syariat di Banda Aceh baru-baru ini, tapi Eyang
Bakry masih saja bebas wara-wiri.
Beredar kabar,
ada orang kuat di Balai Kota Banda Aceh yang mengintervensi. Berbagai dugaan
itu sering dialamatkan pada Walikota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal. Ini
sejurus dengan berbagai informasi yang beredar bahwa Illiza berperan aktif
paska tertangkapnya Haji Bakry di sebuah salon bersama seorang perempuan, pada
November 2012 lalu. Bahkan, Illiza disebut-sebut sempat mengintervensi para
awak media agar tak memberitakan peristiwa itu. Sebaliknya, dalam berbagai
pertemuan internal Pemko Banda Aceh, Illiza juga meminta jajaran dibawahnya
untuk tidak membaca berita yang disajikan media ini. Alasannya, tak layak baca.
“Minggu ini wajah saya jadi nenek-nenek di MODUS ACEH. Saya kira, media itu tak
layak untuk dibaca,” himbau Illiza dalam sambutannya, saat membuka satu acara,
Senin, 20 Oktober 2014 di Balai Kota, Banda Aceh.
Kepada MODUS
ACEH, Illiza membantah ini. Dia mengatakan memiliki alasan objektif. Misalnya,
mengapa Haji Bakry tak dicambuk. Nah, apa saja penjelasan Ketua DPC PPP
Banda Aceh, terkait persoalan moral Haji Bakry? Muhammad Saleh dan Dadang
Heryanto dari MODUS ACEH mewawancarai khusus Illiza. Berikut penuturannya.
Bagaimana
sebentulnya posisi kasus Haji Bakry?
Pertama saya
ingin klarifikasi dulu tentang anggapan penegakkan hukum syariat yang
dijalankan Pemko Banda Aceh itu tumpul ke atas. Ini sering dicontohkan pada
kasus Haji Bakry. Ini sama sekali tidak benar.
Yang
sebenarnya seperti apa?
Sebenarnya,
kasus itukan terjadi pada 2012. Waktu itu posisi saya sebagai Wakil Walikota,
jadi bukan penentu kebijakan.
Lalu,
siapa mengambil kebijakan?
Jadi,
kebetulan waktu pimpinan mengambil kebijakan penegakkan hukum itu dilakukan
dengan pembinaan, tidak dalam tahapan melakukan hukum cambuk. Karena itu, pada
kasus Haji Bakry waktu itu, kami lakukan pembinaan. Ini juga berlaku bagi semua
pelanggar syariat. Kalau Haji Bakry kami cambuk waktu itu, sementara pelanggar
lain hanya dibina, inikan juga menyalahi aturan. Khusus Haji Bakry, selain
pembinaan juga kami beri sanksi lainnya.
Apa
itu?
Kami cabut haknya
untuk berceramah (khatib) di Kota Banda Aceh. Selain itu dia juga mendapat
sanksi sosial dari Gampong, karena memang kasus itu sudah diketahui orang
banyak. Ini sebetulnya sanksi yang cukup berat. Jadi apa yang kami lakukan
sebetulnya sudah sesuai prosedur, dan tidak tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Atas
dasar apa kebijakan tak melakukan hukum cambuk waktu itu?
Ada beberapa
dasar, misal karena ketiadaan anggaran. Hukum acara jinayah juga masih
disempurnakan, perangkat pelaksana juga belum sepenuhnya siap. Itulah sebabnya,
political will waktu itu memilih untuk penyempurnaan dasar hukumnya dulu.
Siapa
yang memutuskan?
Pak Walikota
(almarhum Mawardy Nurdin—red). Karena alasan-alasan yang saya sampaikan tadi.
Ini memang ada disampaikan pada forum Muspida, baik itu dengan MPU kepada saya,
Sekda dan lain-lain. Jadi, memang diputuskan untuk meningkatkan sosialisasi dan
pembinaan. Dan hasil evaluasi saat itu, ini berjalan efektif. Jumlah
pelanggar syariat relatif berkurang.
Catatan
media, pada 2007 ada pelaksanaan hukum cambuk di Kampung Mulia, Banda Aceh.
Memakai dasar hukum apa?
Saya tidak
ingat itu. Yang cambuk siapa? (Illiza balik bertanya). Lalu, media ini
memperlihatkan salinan berita yang dilansir Tempo dan Rakyat Aceh.
WH
Banda Aceh bahkan Anda kabarnya hadir di situ?
(Illiza
Sa’aduddin Djamal menelpon mantan Kepala WH Banda Aceh Nasir dan menanyakan
itu). Saya tidak hadir disitu. Jadi, memang ada dilaksanakan hukum cambuk pada
2007. Tapi setelah itu diambil kebijakan (tidak melaksanakan hukum cambuk).
Lalu,
mengapa para pelaku maisir baru-baru ini dicambuk?
Saat saya baru
jadi Walikota, dan kesepakatan kita untuk menjalankan hukum cambuk lagi. Ini
karena Aceh sudah ada qanun jinayah dan hukum acara jinayah. Dari keseriusan
penegak hukum syariat juga sudah lebih baik. Karena itu, kami putuskan untuk
melaksanakan kembali hukum cambuk.
Menurut
informasi yang Anda terima, Haji Bakry sebetulnya melakukan pelanggaran apa?
Pada saat itu
dia ditangkap karena khalwat.
Haji
Bakry adalah anggota TIM Amar Makruf Nahi Mungkar?
Bukan tim
kita, mungkin tim Gampong.
Menurut
pendapat Anda, untuk seorang Haji Bakry yang sebelumnya dikenal sebagai sosok
yang sudah memahami agama, pantaskah dia mendapat pembinaan agama lagi?
Kami tidak
melihat dari kontek itu. Tapi karena kebijakan yang sudah diambil untuk
pembinaan, maka kami jalankan. Tapi jika saya Walikota waktu itu, mungkin saya
memilih untuk cambuk.
Saya terus
terang, waktu kejadian itu sangat syok. Karena memang tidak menyangka. Tapi
itulah manusia. Ulama sekalipun, tak luput dari kesalahan. Apalagi manusia
biasa. Tapi saya pribadi sangat kecewa. Bahkan saya sempat tak berani bertemu
dulu. Saya sendiri malu bertemu dengan Haji Bakry. Apalagi saya memang tak
begitu kenal dengan beliau.
Tapi ada informasi Anda mencoba intervensi pekerja pers untuk
tidak memberitakan ini. Mengapa?
Seperti saya
katakan tadi, saya sangat syok, terkejut. Yang ada dalam pikiran saya, bukan
persoalan Haji Bakry tak boleh diberitakan. Tapi yang saya takutkan waktu itu
adalah pemberitaan akan terjadi begitu vulgar dan berdampak pada image ulama
bisa tercemar, hanya karena satu Haji Bakry.
Artinya,
untuk menghindari diblow up dari hari ke hari dan kita tak sanggup dengan
itu..itu terus. Tapi yang menyangkut dengan Haji Bakry, saya tak pernah
menutupi. Terbukti, semua orang tahu peristiwa itu. Besoknya tetap diberitakan.
Tapi gambarnya memang tidak ada. Bahkan saya hadir dirapat Gampong yang ingin
mengusir Haji Bakry. Saya juga memberikan data-data yang benar pada masyarakat.
Jadi, tidak ada niat saya untuk menutup-nutupi peristiwa itu.
Setelah
keran cambuk ini dibuka, apakah Haji Bakry bisa dieksekusi?
Yang lalu,
kita tutup buku. Karena proses eksekusi ini tidak kita tarik ke belakang,
berapa tahun itu sejak 2007 dan berapa kasus yang harus kita eksekusi. Jadi,
kasus itu, istilahnya sudah “diputihkan”. Mungkin rejeki Haji Bakry tidak
dicambuk! Tapi
jika mau dilihat lebih jeli, ini justru sebuah kerugian bagi dia. Sebetulnya,
kalau dicambuk waktu itu, inikan sudah selesai. Tidak berlarut-larut seperti
saat ini.
Kami
mendapat kabar bahwa petugas yang menangkap sejumlah pelanggar syariat yang
dekat dengan kekuasaan, justru dimutasikan?
Soal mutasi,
saya pikir itu biasa dalam pemerintahan. Tidak ada karena ini atau itu.
Termasuk mutasi pada Iwan. Ini lumrah. Bisa jadi karena bersamaan habis
kejadian itu, lalu dikaitkan ke sana. Tapi sebetulnya, bagi saya, sikap Iwan
mengungkapkan di media seperti itu (dimutasikan karena menangkap pelanggar
syariat), kurang etis. Sebagai staf, harusnya kalau dia ada keluhan dia lapor
ke pimpinan.
Meski
soal mutasi adalah hak dan kewenangan pimpinan, apakah seorang PNS tidak boleh
mendapatkan alasan dari mutasi itu?
Hak pembinaan
pegawai itu domainnya BKPP dan juga Pak Sekda sebagai pembina.
Kepada
media ini, almarhum Mawardy Nurdin sempat menyatakan Haji Bakry akan di proses
hukum dan tugas itu telah didelegasikan kepada Anda waktu itu?
Benar,
delegasi kewenangan penegakkan syariat itu memang di Wakil Walikota. Tapi
memang tidak ada perintah saya untuk mencambuk. Dan saya pernah bertanya,
dijawab” kita (pemerintah kota Banda Aceh) memang sedang tidak melakukan itu.
Baik,
bagaimana jika ada desakan umat dan putusan ulama Haji Bakry dicambuk?
Kami tidak
dalam posisi eksekutor tapi pada tataran kebijakan. Jika ada desakan ummat dan
keputusan ulama, kami siap mengkaji ulang dan menjalankan perintah itu. Tapi,
benar-benar keluar dari keputusan ulama seperti MPU.
Kenapa
begitu?
Ya, karena
kebijakan tidak mencambuk Haji Bakry waktu itu, juga atas kesepatakan Muspida,
termasuk MPU Kota Banda Aceh waktu itu, Kapolres serta Kejari.
Sumber : Modus Aceh
Wawancara : Mengapa Haji Bakhry Tak Dicambuk
Reviewed by Yudi Official
on
Juni 07, 2015
Rating:
Tidak ada komentar: