“…Jika pada
suatu hari nanti Anda mendengar berita bahwa saya telah syahid, janganlah
saudara merasa sedih dan patah semangat. Sebab saya selalu bermunajat kepada
Allah SWT agar mensyahidkan saya apabila kemerdekaan Aceh telah sangat dekat.
Saya tak ingin memperoleh kedudukan apa pun apabila negeri ini (Aceh) merdeka…”
Itulah wasiat
terakhir Panglima Gerakan Aceh Merdeka Abdullah Syafei yang tewas dalam kontak
senjata di kawasan perbukitan Jimjiem, Kecamatan Bandarbaru, Kabupaten Pidie.
Wasiat yang dibuat sebulan sebelum ia meninggal, seolah firasat Syafei bahwa
kematiannya memang telah dekat. Namun, jauh sebelum Tengku Lah –begitu ia biasa
disapa– tewas, ia telah menulis pesan agar kematiannya tidak ditangisi, apalagi
diratapi. Sebab, perjuangan kemerdekaan negeri Aceh Sumatra belum tuntas dan
kematian dirinya adalah syahid.
Tengku Lah
adalah pemimpin sayap militer GAM yang sangat berpengaruh. Lebih dari 20 tahun
ia memimpin gerilya GAM dari kawasan Bireun, yang dikenal sebagai markas GAM.
Tengku Lah dikenal sebagai pribadi yang tegas dan sopan. Ia juga dikenal sangat
santun dan bersahaja. Di mata aktivis GAM, Syafei adalah sosok yang humanis dan
antikekerasan. Itulah sebabnya, berulang kali Syafie menegaskan bahwa
perjuangan bersenjata tak lebih dari upaya mempertahankan diri dari serangan
Tentara Nasional Indonesia.
Tengku Lah
memang tak pernah dibesarkan dalam dunia kekerasan. Ia juga tak pernah mendapat
pendidikan tempur di Libya, seperti yang diperoleh Muzakir Manaf, sosok yang
diusung GAM menggantikan Syafei. Tengku Lah hanya seorang berkepribadian
sederhana yang dilahirkan di Desa Matanggeulumpang Dua, 45 kilometer sebelah
barat Lhokseumawe, Aceh Utara. Pendidikan terakhirnya hanya di Madrasah Aliyah
Negeri Peusangan. Itu pun hanya sampai kelas tiga. Setelah itu, ia belajar ilmu
agama di sejumlah pesantren.
Uniknya, masa
muda Syafei ternyata lebih banyak dihabiskan dalam dunia teater bersama grup
Jeumpa. Ia kerap berperan sebagai wanita dalam setiap pementasan. Itulah
sebabnya, sejak muda rambut Syafei selalu tergerai. Perkenalan Tengku Lah
dengan dunia militer terjadi pada awal 1980-an. Ia bergabung bergabung dengan
GAM kelompok Hasan Tiro. Meski begitu, keramahan dan kesantunan Syafei tak
pudar. Ia terus menjalin komunikasi rakyat Aceh, yang memang sangat dekat
dengan dirinya.
Sikap ramah,
santun, dan hangat ini diperlihatkan ketika Syafei dengan begitu akrab bertemu
dengan sejumlah komponen masyarakat dan wartawan. Sekretaris Kabinet di era
Presiden Abdurrahman Wahid, Bondan Gunawan, dan artis Cut Keke adalah dua di
antara tokoh yang pernah Syafei temui. Bahkan, ketika TNI mengklaim telah
menembaknya hingga sekarat, Maret 2000, Syafei dengan santai malah mengundang
reporter SCTV Jufri Alkatiri dan Yahdi Jamhur untuk sebuah wawancara di tengah
Hutan Pasee. Dalam kesempatan itu, Tengku Lah juga mengundang wartawan Kompas
Maruli Tobing untuk melihat kondisi terakhir Syafei yang saat itu ternyata
dalam kondisi sehat walafiat.
Setiap gerak
Syafi’i memang layak “disantap” pers. Ia dianggap tokoh penting untuk
menyelesaikan konflik Aceh yang telah berlarut-larut dan berdarah-darah. Namun,
sebelum Serambi Mekah aman dan kemerdekaan Aceh masih menjadi mimpi bagi
sebagian anggota GAM, Tengku Lah keburu tewas. Ia meninggal begitu dramatis;
bersama Fatimah, istrinya yang tengah mengandung enam bulan, dalam keyakinan
menjadi syahid.(ULF/Tim Liputan 6 SCTV)
Dihormati Kawan
Disegani Lawan
Subuh hampir
menjelang ketika serombongan orang berjalan kaki sambil mengusung empat keranda
dalam pekat malam. Di posisi paling depan, seorang lelaki menjinjing petromaks
sebagai penerang jalan. Seratus meter dari sana, sejumlah laki-laki masih
menggali lubang kubur berukuran 3 x 2 meter.
“Tolong ambil
timba, semua air harus dibuang,” ujar seorang lelaki meminta untuk menguras air
yang memancar di dalam lubang yang baru saja digali.
“Tanah yang
di ujung sana, digali sedikit lagi,” seorang lelaki lain menimpali.
Pada malam
menjelang subuh itu, 25 Januari 2002, isak tangis dan salawat bergema di Desa
Cubo, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya. Salah satu keranda yang diusung adalah
Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) Teungku Abdullah Syafie. Ada juga
istrinya Cut Fatimah dan dua pengawal setianya Teungku Daud Hasyim dan Teungku
Muhammad Ishak. Mereka tewas akibat kontak senjata antara GAM dan TNI tiga hari
sebelumnya, di Desa Sarah Panyang Jiemjiem, sekitar empat kilometer dari Blang
Sukon.
Tanpa
dimandikan, keempat jenazah itu lalu dimakamkan dalam satu liang. Pemakaman
berlangsung sederhana. Tak ada simbol-simbol GAM seperti bendera atau letusan
senjata api sebagaimana lazimnya penguburan seorang panglima militer. Tak ada
pula petinggi GAM lain di sana.
Masyarakat
setempat mengenang Abdullah Syafie sebagai sosok ramah dan bersahaja. Itu
sebabnya, tiga warga desa yang terletak 35 kilometer di selatan Kota Sigli itu
sempat pingsan, tak kuasa menahan haru. “Saya belum pernah menemukan seorang
pemimpin yang begitu dekat dan bisa bergaul dengan segala lapisan masyarakat,”
ujar pria separuh baya yang namanya tidak mau disebutkan.
Pria yang
akrab disapa Teungku Lah itu tak hanya disenangi kawan, tapi juga disegani
lawan. Letkol Infanteri Supartodi yang ketika itu menjabat Komandan Distrik
Militer (Dandim) 0102 Pidie mengakui kelebihan Teungku Lah. “Beliau orang baik.
Tapi karena ideologinya bertentangan, ia harus berhadapan dengan kami,” ujar
Supartodi.
Abdullah
Puteh yang ketika itu menjabat Gubernur Aceh juga memuji sosok Tengku Lah.
Menurut Puteh, ia adalah pemimpin yang sudi diajak berdialog dan berpikiran
modern. Itu terbukti ketika Teungku Lah menerima Bondan Gunawan, Sekretaris
Negara yang diutus Presiden Abdurrahman Wahid pada 16 Maret 2000. Pertemuan itu
berlangsung pada sebuah jambo di sawah pinggir hutan dalam suasana akrab dan
penuh canda, tanpa pengawalan ketat. Bahkan, sejumlah televisi dalam dan luar
negeri menyiarkan pertemuan itu secara langsung.
“Saya
menganggap Tengku Lah sebagai saudara, bukan musuh,” kata Bondan sesudah
pertemuan itu. Bondan bahkan menaruh foto dirinya dengan sang Panglima AGAM di
meja kerjanya. “Itu potret saudara saya,” ujar Bondan kepada Nezar Patria dari
TEMPO yang menemuinya seusai bertemu Teungku Lah.
Meski mengaku
pertemuan itu hanya sebagai silaturahmi biasa, namun sesungguhnya Bondan
menyampaikan pesan Gus Dur untuk meretas jalan damai bagi konflik Aceh.
Tertembaknya Teungku Lah sempat membuat jalan menuju damai kian berliku.
Pertemuan yang sudah dirancang berlangsung pada 3 Februari di Jenewa, Swiss,
tak berjalan mulus. Pihak GAM keberatan bertemu. “Selama ini, kami sudah
berupaya melakukan diplomasi, tapi selalu dibalas dengan peluru,” kata Sofyan
Daud, juru bicara GAM ketika itu.***
Sembilan
tahun telah lewat. Tak ada lagi perang yang membuncah. Tiga tahun setelah
Teungku Lah tertembak, pihak GAM dan pemerintah Indonesia menandatangani
perjanjian damai di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Perjanjian yang
dikenal dengan MoU Helsinki itu sekaligus mengakhiri konflik bersenjata selama
30 tahun.
Setelah damai
datang, kuburan Teungku Lah ramai dikunjungi orang. Mulai dari masyarakat biasa
hingga mantan petinggi GAM. Bahkan, Wali Nanggroe Tengku Hasan Tiro pun sempat
berkunjung ke sana saat kembali ke Aceh pada Oktober 2008.
Kuburan
Tengku Lah dibangun dengan sederhana dan hanya dikelilingi teralis besi.
Beberapa helai kain putih terikat di pohon jarak yang ditanam di makam.
Kain-kain itu diikat oleh warga yang berkunjung dan peulheuh kaoy (melepas
nazar) di sana.
Sementara
itu, nun jauh di seberang Geurutee, sekitar delapan jam perjalanan dari makam
Teungku Lah, seorang arakata memutar otak untuk memugar makam sang panglima.
Arakata adalah sebutan dalam struktur GAM untuk jabatan sekretaris. Lelaki itu,
Azhar Abdurrahman, sang arakata wilayah Meureuhom Daya yang kini menjabat
bupati Aceh Jaya.
Berkunjung ke
makam Tengku Lah sekitar dua bulan lalu, Azhar terenyuh melihat kondisi makam.
Ia pun tergerak hatinya untuk memugar kembali makam sang panglima. “Beliau
orang besar, mantan panglima prang, tapi kuburannya sederhana sekali,” ujar
Azhar.
Azhar memang
belum pernah bertemu langsung dengan Tengku Lah. Wajahnya hanya dilihat di
koran dan sesekali muncul di televisi. Meski begitu, Tengku Lah mendapat tempat
khusus di hati Azhar. Ketika Tengku Lah tertembak, Azhar mendapat kabar itu
dari telepon satelit. Seseorang dari komando pusat mengabari bahwa sang
panglima telah tiada. “Kami sangat berduka setelah mendapat kabar itu dan
bertekad melanjutkan apa yang sudah beliau perjuangkan,” kata Azhar.
Itu sebabnya,
Azhar pun segera merancang pemugaran makam. Ia berharap, masyarakat yang datang
ke sana dapat leluasa untuk sekedar berdoa atau peulheuh kaoy di sana.
Diperkirakan, pemugaran makam akan selesai dalam waktu satu setengah bulan atau
sebelum masuk bulan puasa tahun ini.
Bagi Azhar,
Abdullah Syafie adalah figur idolanya. Ia pun masih mengingat pesan Teungku Lah
sebelum ajal menjemput. “Jika suatu hari nanti Anda mendengar berita bahwa saya
telah syahid, janganlah saudara merasa sedih dan patah semangat. Sebab saya
selalu bermunajat kepada Allah SWT agar mensyahidkan saya apabila kemerdekaan
Aceh telah sangat dekat. Saya tak ingin memperoleh kedudukan apapun apabila
negeri ini (Aceh) merdeka…”. || Nova Zulfikar
Tgk. Abdullah Syafi’i Panglima Panutan
Reviewed by Yudi Official
on
Desember 08, 2014
Rating: