Tiga kesalahan yang merugikan rakyat, yang sudah
dilakukan oleh anggota DPR Aceh baru kita, padahal mereka baru dilantik dan
belum banyak berbuat apa apa kepada masyarakat. Pasca pelantikan pada tanggal
30 September 2014 yang lalu, DPR Aceh memang menjadi topic hangat untuk
diperbincangkan oleh masyarakat terutama para lembaga masyarakat yang konsen
memperhatikan dan mengamati kinerja anggota DPR Aceh yang baru itu. Meski baru
saja dilantik, mereka sudah kembali memperlihatkan siapa mereka sesungguhnya,
apa yang terjadi dan dilakukan oleh anggota DPR Aceh saat ini memang terfokus
pada kepentingan partai dan dirinya, sehingga hal hal yang mendasari kebutuhan
masyarakat tidak menjadi prioritas mereka. Maka dari itu, perebutan kekuasaan
pada pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan dewan terlihat telanjang dimata
masyarakat. Tapi dari sekian banyak perihal yang terjadi di DPR Aceh saat ini,
ada tiga hal yang menjadi tontonan menarik bagi masyarakat, yaitu
Pertama, Lambannya proses rancangan dan pengesahan
tatib yang menyebabkan terlambatnya proses pembahasan anggaran 2015 dan
menyebabkan terkendalanya pembangunan aceh pada tahun 2015. Sejak dilantik pada
tanggal 30 September lalu, DPR Aceh tidak memperlihatkan kerja kerasnya untuk
segera mengesahkan tatib, bahkan terkesan santai.
Kedua, Adanya aksi brutal (anarkis) yang seharusnya
tidak terjadi digedung dewan terhormat pada saat paripurna penentuan pimpinan
dan dengan gagahnya para timses oknum DPRA yang sudah di setting untuk berada
didalam gedung paripurna dengan mengeluarkan kata kata tidak pantas kepada para
dewan lainnya, juga dalam peristiwa tersebut adanya kerusakan ringan fasilitas Negara
dan diliput serta ditayang hampir seluruh media nasional baik online, cetak dan
Televisi. Aksi tersebut telah mencoreng dan mempermalukan Aceh.
Ketiga, Para anggota dewan telah mengabaikan surat
balasan menteri dalam negeri tentang penentuan jumlah pimpinan dewan, dimana
menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD menjelaskan jika anggota Dewan berjumlah dibawah 84
orang maka hanya berhak 4 pimpinan. Sebab UU Nomor 11 tahun 2006, tentang
Pemerintah Aceh tidak mencantumkan secara eksplisit, Jadi karena tidak ada
pengaturan lex specialist, maka Aceh harus tunduk ke UU nomor 17 Tahun 2014
tentang MD3. (menteri dalam negeri menyetujui 4 sedangkan DPR Aceh
memutuskan 5 pimpinan). Sehingga menyebabkan akan terjadinya penolakan kembali
oleh Mendagri yang kemudian kembali memperlambat proses kinerja dewan dan
proses pembahasan anggaran yang sudah sangat mendesak.
Adanya studi banding yang menghabiskan anggaran
ratusan juta tersebut dalam proses rancangan tatib kebeberapa provinsi otonomi
khsusus ternyata tidak memberi pengaruh dalam rancangan tata tertib yang sedang
dibahas oleh DPR Aceh, hal itu dibuktikan bahwa rancangan tatib tetap tidak
memberikan nilai lebih yang menguatkan adanya timbal balik dan keuntungan dalam
proses studi banding yang dilakukan oleh DPR Aceh. Mereka tetap mengabaikan
aturan aturan yang bertentangan, padahal hal itu tidak dilakukan oleh Provinsi
lainnya.
Kemudian, meski sudah melakukan studi banding
kebeberapa Provinsi, DPR Aceh tetap lambat dalam proses pengesahan tatib dan
pembentukan alat kelengkapan dewan, padahal pengesahan tatib dan pembentukan
tatib sudah menjadi perbincangan hangat dikalangan lembaga masyarakat karena
mengkhawatirkan keterlambatan pengesahan anggaran tahun 2015 dan dalam kondisi
mendesak karena mempengaruhi pembangunan Aceh ditahun mendatang.
Meski dengan berbagai desakan dan kritikan yang
dilakukan oleh lembaga masyarakat yang memantau kinerja DPR Aceh untuk bekerja
cepat, tapi proses deal politik dan dinamika yang terjadi antar sesama partai
politik lebih dipentingkan, sehingga anggota DPR Aceh tetap tidak bisa bekerja
lebih cepat, sebab adanya konflik dan deal politik antar sesama partai yang
belum disepakati seperti penetuan pimpinan dewan dan ketua komisi komisi.
Baru Dilantik DPR Aceh Buat 3 Kesalahan
Reviewed by Yudi Official
on
Desember 10, 2014
Rating: