Ironis
melihat dinamika yang terjadi pada pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) IV ini.
Maksud dan tujuan yang sebenarnya untuk melestarikan adat dan budaya pada
generasi berikutnya agaknya telah dikubur secara dalam dalam. Pelaksanaan PKA
yang bertujuan sebagai ajang promosi adat dan budaya aceh kepada dunia luar
ternyata malah terjadi pengrusakan adat dan budaya aceh dimata dunia yang
dikenal sebagai budaya yang mengandung dan melebur dengan unsur unsur syariah.
Tragis ketika
mengunjungi area PKA jika kita melihat panggung panggung dipenuhi dengan area
joget pinggul dengan lagu trendinya “goyang senggol”. Pemuda pemudi yang
ditemani sang biduati agaknya sangat menikmati budaya tersebut. Area PKA yang
seharusnya menjadi tempat untuk bernostalgia pada masa masa dimana adat dan
budaya menjadi suatu keharusan untuk diketahui oleh generasi muda, sepertinya
sudah di suap dengan goyang senggol.
Goyang senggol
lebih memikat hati generasi muda dibandingkan pada penyuguhan adat dan budaya
Aceh. Hal ini kita lihat dimana perbedaan penampilan budaya dengan penampilan
keyboard. Penampilan keyboard akan dikunjungi secara membludak sedangkan
penampilan budaya sepi pengunjung. Mungkin ini yang dimaksud “haus hiburan”
Panitia pelaksana
dan Wilayatul Hisbah (WH) juga ikut menikmati goyang senggol sehingga tidak ada
kata teguran pada panggung panggung yang menyajikan biduan biduan seksi
tersebut. Tidak adanya teguran dapat kita lihat bahwa pergelaran keyboard masih
saja terjadi setiap malam meski beberapa media mulai memberitakan tentang
hiburan tersebut. Bahkan semakin hari pergelaran keyboard semakin parah dan
melunjak. Panitia dan WH agaknya melupakan tujuan dan dasar dari pelaksanaan
PKA tersebut.
Jika PKA
telah menjadi “Pekan Kemaksiatan Aceh” untuk apa pemerintah mengeluarkan biaya
yang tidak sedikit hanya untuk menyajikan sebuah surga dunia bagi rakyatnya di
negeri syariah ini.
Penyebutan
Pekan Kemaksiatan Aceh baru baru ini telah menjadi trending topic di media
sosial masyarakat Aceh, plesetan tersebut di lakukan sebagai bentuk dan rasa
kekecewaan masyarakat yang menganggap pelaksanaan PKA tahun ini jauh dari
tujuan dan maksud kegiatan. Belum lagi rasa tidak peka nya WH dan panitia dalam
meninjau layak tidaknya penampilan yang dilaksanakan di area PKA tersebut oleh
setiap anjungan kabupaten/kota.
Jika pelaksanaan
Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) tidak lagi bermaksud pada pelestarian adat dan budaya,
sudah saatnya PKA di stop untuk tidak lagi menimbulkan kekecewaan di
masyarakat. Dan pelaksanaan PKA pada periode berikutnya pemerintah sudah
saatnya memikirkan mekanisme pelaksaannya. Jangan jadikan ajang PKA sebagai
ajang untuk meraup keuntungan dengan mengorbankan adat dan budaya yang telah
diwariskan oleh pendahulu.
Pergeseran
budaya yang terjadi di Aceh juga terlihat semakin parah. Keyboard telah menjadi
budaya baru bagi masyarakat Aceh, kehadiran keyboard begitu mudah diterima dan
di ingat oleh masyarakat Aceh. Sedangkan budaya yang telah ada ditinggalkan
begitu saja. Bahkan ada yang berpendapat bahwa budaya keyboard mau tidak mau
rakyat Aceh lambat laun akan menerimanya. padahal keyboard telah merusak
semangat pelaksanaan syariah di negeri Aceh ini.
Stop PKA "Pekan Kemaksiatan Aceh"
Reviewed by Unknown
on
September 25, 2013
Rating: