“SEMUA atas nama kebenaran yang diperjuangkan merupakan
kebenaran dari perspektif ideologi organisasi masing-masing. Jika
antarorganisasi tidak sama pendapat maka terjadilah saling serang dan saling
menyalahkan”
Zaman sudah berbeda, itulah pengelakan yang sering terdengar
dari mulut kalangan mahasiswa pada saat melakukan diskusi-diskusi pembahasan
isu sosial.
Mengapa tidak, orientasi mahasiswa dalam dunia organisasi
bukan lagi sebagai wadah pembelajaran dan pendewasaan diri memahami pendidikan
politik dan mengontrol kebijakan pemerintah agar tetap berjalan sebagaimana
yang diharapkan masyarakat yaitu terciptanya keadilan dan kesejahteraan. Namun
organisasi sudah dijadikan sebagai wadah yang mengarah pada orientasi pragmatisme.
Sehingga permasalahan bangsa ini belum juga mampu diselesaikan melalui tuntutan
kaum intelektual.
Mahasiswa selalu terjebak pada sebuah tahta yang akhirnya
melupakan sebuah idealisme perjuangan. Permasalahan sosial di negara ini masih
merupakan permasalahan lama yaitu keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.
Sejak orde lama, orde baru sampai pascareformasi tuntutan
rakyat tidak jauh dari kedua permasalahan utama tersebut.
Namun kedua permasalahan tersebut belum juga mampu
diselesaikan sampai pada era reformasi ini. Mahasiswa sebagai generasi
intelektual yang diharapkan mampu menyatukan elemen-elemen bangsa untuk dapat
membangun negeri ternyata terhambat pada permasalahan internal mahasiswa.
Perpecahan mahasiswa dimulai bukan hanya terjadi pada tahun
1998. Pada era orde lama mahasiswa mulai menggalang kekuatan untuk menonjolkan
ideologi yang diusung oleh organisasi masing masing.
Banyaknya organisasi kemahasiswaan yang mengusung
ideologi-ideologi berbeda ternyata menjadi faktor penyebab terjadinya pemecahan
gerakan dikalangan mahasiswa.
Semua atas nama kebenaran yang diperjuangkan merupakan
kebenaran dari perspektif ideologi organisasi masing-masing.
Jika antarorganisasi tidak sama pendapat maka terjadilah
saling serang dan saling menyalahkan. Perpecahan gerakan mahasiswa yang terjadi
pada orde lama berimbas sampai dengan pascareformasi.
Jika pun mahasiswa dapat menyatukan diri pada 1998 sehingga
menjadi ujung tombang terjadinya reformasi hal itu disebabkan pada permasalahan
yang sudah mendesak dan melihat kondisi bangsa yang semakin terpuruk membuat
mahasiswa menyatukan suara.
Belum lagi mantan-mantan aktivis mahasiswa yang meninggalkan
idealisme perjuangannya ketika mendapatkan jabatan di pemerintahan dengan
melupakan tujuan dari reformasi, membuat permasalahan mahasiswa semakin rumit.
Masyarakat mulai menyebut kelakuan mahasiswa tidak jauh
berbeda dengan kelakuan wakil rakyat yang hanya berteriak kebenaran dan
keadilan ketika belum mendapatkan jabatan.
Euforia mahasiswa setelah lengsernya Soeharto membuat
mahasiswa lupa akan apa yang sebenarnya diperjuangkan. Dan hasilnya reformasi
hanya sebuah nama yang di dalamnya tidak jauh berbeda pada orde baru.
Pada saat-saat seperti ini mahasiswa tidak dapat diharapkan
untuk mampu menyatukan diri dalam mengawal keberlangsungan keadilan dan
kebenaran di pemerintahan.
Perpecahan di kalangan mahasiswa semakin kronis. Di setiap
kampus-kampus mahasiswa mulai membuat batas-batas antarorganisasi, saling
kritik dan serang antarorganisasi terbuka lebar.
Semua organisasi memiliki sudut pandang masing-masing. Jika
ada organisasi yang berbeda sudut pandang maka dianggap sebagai lawan.
Celakanya kritik tidak dianggap sebagai bahan untuk intropeksi dan pembenahan
organisasi melainkan dianggap sebagai musuh karena telah mengganggu
keberlangsungan organisasi tersebut.
Sikap pragmatisme pun sudah mewabah di kalangan mahasiswa.
Jika di orde lama Soe Hok Gie memberi contoh sebagai orang yang tetap berpegang
teguh pada idealisme perjuangannya meski mendapat tawaran jabatan dipemerintahan,
saat ini tidak dapat ditemukan kembali seperti sosok Soe Hok Gie tersebut.
Kalangan aktivis mahasiswa yang mempunyai jabatan strategis
di kampus-kampus mulai masuk ke dalam ranah partai maupun underbownya dan tidak
sedikit pula yang meraih jabatannya di organisasi-organisasi kampus melalui
sokongan dana yang diberikan oleh partai.
Padahal mereka merupakan pemimpin di kampus yang harus
memperjuangkan hak mahasiswa dan mengawal jalannya roda pemerintahan yang adil
dan bersih. Bagaimana untuk menjadi agent of control pemerintah jika para
pemimpin-pemimpin di kampus sudah masuk ke dalam ranah partai dan underbow
partai? Pastinya akan ada perbedaan “tidak mungkin seorang anak akan membunuh
ayahnya kecuali anak durhaka”, begitulah kira-kira peribahasa yang cocok untuk
mahasiswa saat ini. Tapi adakah anak yang mau durhaka kepada ayahnya?
Diterbitkan : atjehpost.com
Mahasiswa Kronis
Reviewed by Sie Yudie
on
Maret 18, 2013
Rating:
Tidak ada komentar: