Hasil Pesta demokrasi pemilihan legislatif 2019 bisa dipastikan berapa persentase setiap partai yang didapatkan, khusus untuk Aceh, partai yang bertarung dalam perhelatan demokrasi berbeda dengan daerah lain di Indonesia, perbedaan tersebut adalah terkait dengan kehadiran partai lokal yang secara khusus dan istimewa di Aceh, adanya partai lokal di Aceh sebagaimana hasil perjanjian MoU Helsinky yang ditandangani oleh kedua belah pihak antara Pemerintah RI dan GAM yang saat itu dalam perundingan ditahun 2005.
Implementasi dari perjanjian tersebut salah satunya adalah hadirnya partai lokal di Aceh, namun bagaimana kiprah partai-partai lokal di Aceh dan bagaimana kondisi partai-partai tersebut dalam 3 dekade pemilu di Aceh yang sudah diikuti oleh para partai lokal tersebut, akan saya uraikan dari mulai periode 2009-2014, periode 2014-2019 dan periode 2019-2024.
Pemilu 2009 bisa disebut sebagai pemilu paling tragis, dramatis dan fanatik dalam sejarah perhelatan pesta demokrasi di Aceh, mengingat tahun 2009 adalah tahun pertama dimana kehadiran partai lokal pertama kali dalam sejarah Indonesia.
Meski sebelumnya sudah ada Pilkada ditahun 2006 yang dimana calon-calon kepala daerah banyak diikuti oleh para eks GAM dengan mekanisme independen yang juga baru pertama kali di Indonesia dan kemudian elit GAM mayoritas dapat menguasai kursi panas tersebut, saat itu kondisi Aceh juga masih berada dalam suasana yang sensitif, dimana konflik bisa saja kembali terjadi, dan gegap gempita masyarakat Aceh atas kehadiran partai lokal juga menjadi euforia yang sangat fanatik dan primodialis.
Namun kehadiran partai lokal di Aceh juga yang membuat elit-elit GAM di Aceh terpecah belah, sejak mulai pembentukan partai lokal hingga Pileg dilaksanakan, banyak terjadinya konflik politik yang terjadi diantara para eks GAM, adapun partai lokal yang terbentuk di Aceh tak tanggung-tanggung, ada 6 partai lokal yang terbentuk di Aceh
Saat itu dikalangan eks kombatan terjadi perbedaan pendapat, ada yang menginginkan bahwa hanya satu parlok saja yang terbentuk, adapun partai-partai lokal yang terbentuk di 2009 adalah Partai Aceh, Partai Aceh Aman Sejahtera, Partai Bersatu Aceh, Partai Daulat Aceh, Partai Rakyat Aceh dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh.
Saat Pileg dilaksanakan, konflik antar parlok tak bisa dihindari, menurut data Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) ada 20 kasus kekerasan yang menyangkut pemilu terjadi di Aceh pada tahun 2009, namun menurut catatan Forum LSM Aceh lebih dari 30 kasus kekerasan yang terjadi saat pemilu 2009 yang melibatkan banyak pihak, mulai dari kekerasan, pembunuhan dan sebagainya. Namun fakta lain yang menarik adalah bahwa "Tulisan investigatif wartawan Amerika Serikat, Allan Nairn, yang dimuat di blognya menyebutkan bahwa ada indikasi keterlibatan Kopassus dalam sejumlah pembunuhan yang menewaskan beberapa aktivis Aceh saat Pemilu 2009". Kompas.com
Partai Aceh yang membawa isu perjanjian MoU Helsinky mampu meraup suara 46,91% suara atau 33 kursi di provinsi Aceh, mencakup sebagian besar kursi parlemen di Aceh dari 69 kursi di legislatif provinsi, kemudian partai lokal lainnya hanya meraih 1 kursi parlemen provinsi untuk Partai Daulat Aceh.
Sedangkan partai lokal lainnya tak mampu meraih kursi, begitu pula dengan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) yang diluar prediksi dan perkiraan banyak orang, dimana Partai SIRA ini adalah partai para intelektual yang bersejarah karena pernah melakukan aksi referendum yang menghadirkan jutaan masyarakat Aceh di Banda Aceh, bahkan tokoh sentral partai ini Muhammad Nazar juga memenangi Pilkada 2006 yang berpasangan dengan Irwandi Yusuf, yang merupakan tokoh GAM.
Partai SIRA disebut-sebut kala itu adalah partai yang paling ditentang pembentukannya oleh eks GAM, para eks GAM beranggapan bahwa tokoh-tokoh SIRA lebih baik bergabung dengan Partai Aceh ketimbang membentuk partai yang dianggap dapat memecah belah. Namun partai tersebut tetap dibentuk dengan dibuktikan keikutsertaan mereka dalam pemilu 2009 meski kemudian tak memiliki kesempatan untuk memasuki parlemen.
***
Selanjutnya adalah pesta demokrasi ditahun 2014, sebelum pileg digelar, pada tahun 2012 pilkada terlebih dahulu diselenggarakan, yang merupakan Pilkada paling banyak bersimbah darah dan mengerikan, pertarungan Irwandi Yusuf sebagai incumbent dengan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (Mualem) kala itu sangat memanas, Irwandi Yusuf yang kala itu sebagai kader Partai Aceh diperintahkan untuk tidak ikut dalam Pilkada 2012, namun Irwandi menolak perintah tersebut dan kemudian memutuskan untuk mencalonkan diri lewat independen.
Bukan hanya itu, Irwandi Yusuf kemudian memutuskan membentuk partai lokal baru di Aceh dengan nama Partai Nasional Aceh (PNA), yang membuat hubungan Irwandi Yusuf dengan partai lamanya menjadi semakin memanas, terbentuknya PNA banyak membuat para eks GAM terpecah belah dan tak sedikit para loyalis Irwandi Yusuf yang ikut dalam gerbong partai tersebut, namun sayangnya pertarungan tersebut membuat Irwandi Yusuf harus menerima kekalahan telaknya dengan persentase suara hanya 26%, sedangkan rival terberatnya mendapatkan suara 56%, yang membuat pilkada juga menjadi hanya 1 putaran saja.
Pilkada tersebut tercatat 40 lebih kasus kekerasan, dengan 80% terjadi didaerah bekas konflik seperti Aceh Utara, Pidie, Bireun, Aceh Timur, Aceh Jaya dan sebagainya. Kasus kekerasan yang terjadi juga bukan merupakan kasus biasa, mulai dari penembakan, ancaman dan sebagainya, yang melibatkan dua pihak loyalis baik Muzakir Manaf maupun Irwandi Yusuf, kala itu bahkan Irwandi Yusuf mengaku beberapa kali selamat dari ancaman maut.
Pasca kekalahan tersebut, tidak membuat loyalis Muzakir Manaf puas akan hal tersebut, label kepada Irwandi Yusuf pun mereka sematkan dengan kata “penghianat”, bahkan Irwandi Yusuf mendapatkan bogem mentah dari para loyalis Muzakir Manaf saat menghadiri serah terima jabatan di kantor DPR Aceh, pukulan tersebut membuat wajah Irwandi Yusuf memar.
Namun malamnya, kasus penembakan terjadi di Aceh Besar saat rombongan loyalis Muzakir Manaf menuju pulang kedaerahnya usai menghadiri pelantikan Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf untuk periode 2012-2017. Meski penembakan tersebut tidak diketahui siapa pelakunya, namun publik berasumsi bahwa kasus tersebut erat hubungannya, sebagai bentuk pembalasan para loyalis Irwandi Yusuf.
Meski saat itu, Muzakir Manaf sebagai pentolan tertinggi didalam tubuh Partai Aceh menduduki tampuk kekuasaan, Pilkada 2014 tidak memberikan dampak yang cukup signifikan bagi kelansungan popularitas partai tersebut, Partai Aceh hanya meraih 29 kursi (28%) untuk tingkat provinsi, yang artinya kehilangan 4 kursi, padahal untuk tingkat provinsi Aceh, terjadi penambahan kuota 12 kursi yang totalnya menjadi 81 kursi dari semula 69 kursi.
Kehilangan suara untuk Partai Aceh disinyalir kuatnya hubungan Muzakir Manaf belakangan dengan Partai Gerindra, partai tingkat nasional dibawah kekuasaan Prabowo Subianto, hubungan Muzakir Manaf dengan Prabowo disebut-sebut sangat dekat, bahkan saat Pilpres Muzakir Manaf menentukan sikap politik yang berbeda dengan para senior di Partai Aceh, yang berimplikasi tidak membaiknya hubungan senior dengan Muzakir Manaf, senior yang dimaksud seperti Zaini Abdullah dan Zakaria Saman yang memilih mendukung Jokowi-JK kala itu. tidak baiknya hubungan tersebut juga berimplikasi pada kekuasaan di pemerintahan Aceh.
Hubungan baik Prabowo dengan Muzakir Manaf, membuat Muzakir Manaf didapuk sebagai Dewan Penasehat Partai Gerindra, dengan kuatnya hubungan tersebut akhirnya Partai Gerindra mendapatkan keuntungan dengan memperoleh banyak kursi di seluruh daerah di Aceh, yang sebelumnya malah tidak mereka miliki dan Partai Aceh malah terjadi sebaliknya. Hubungan tersebut juga berlanjut dengan Pilkada di 2012 yang saat itu Muzakir Manaf menggandeng ketua Partai Gerindra Aceh T.A Khalid sebagai calon Wakil Gubernur.
***
Rupanya Muzakir Manaf tidak banyak menyadari, betapa ia dengan partainya telah mengalami banyak kemorosotan. Dengan keyakinan akan mengulang sejarah Pilkada 2012, ia dengan percaya diri dan mantap berduet dengan Partai Gerindra dan mengabaikan banyak kemungkinan lain, sedangkan rival terberatnya juga memutuskan untuk kembali bertarung, yaitu Irwandi Yusuf, sedangkan Zaini Abdullah juga ikut kembali dengan menggunakan jalur independen, Zakaria Saman juga melakukan hal yang sama.
Duet Muzakir Manaf dengan T.A Khalid banyak disayangkan oleh berbagai pihak, karena diyakini akan mempersulit kemenangan Muzakir Manaf, namun hal tersebut tidak membuat Muzakir Manaf mengurungkan niatnya dan tetap dengan mantap melanjutkan hal tersebut, akhirnya Pilkada 2017 mendapatkan hasil yang memuaskan bagi pasangan Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah dengan kemenangan 38,6% sedangkan pasangan Muzakir Manaf dan T.A Khalid hanya memperoleh suara 31,3% dan disusul oleh calon-calon lainnya. Kekalahan Muzakir Manaf kala itu memang sudah diprediksi oleh banyak pihak, bahkan Irwandi Yusuf diam-diam melakukan banyak manuver untuk tetap mempertahankan duet Muzakir Manaf dengan T.A Khalid.
Kali ini, kekalahan Muzakir Manaf bukan saja di Pilkada, tapi juga merembes ke Pileg tahun 2019, dalam pileg ini Partai Aceh dibawah kekuasaan Muzakir Manaf juga kembali mengalami banyak kehilangan kursi, dari sebelumnya 29 kursi, kini hanya tersisa 18 kursi, yang artinya ia kehilangan 11 kursi, bukan hanya untuk tingkat provinsi, Partai Aceh banyak mengirim kadernya untuk tingkat nasional melalui banyak partai nasional, namun sayangnya kader-kader tersebut juga banyak yang gagal meraih kursi tersebut. Sedangkan Partai Gerindra yang semula mendapatkan 3 kursi, kini mereka mendapatkan 8 kursi di tingkat provinsi dan juga meningkat di tingkat DPRK. Selain itu PNA juga mendapatkan penambahan kursi dari semula 3 kursi menjadi 6 kursi.
***
Pukulan bertubi-tubi bagi perjalanan politik Partai Aceh dan Muzakir Manaf, dimana kekalahan bertubi-tubi dan terjadi kemorosotan dan banyak kekalahan di berbagai daerah, mungkin inilah yang membuat sikap Muzakir Manaf pasca pileg tersebut, sangat berbeda dengan sikapnya beberapa tahun belakangan, saya mengamati terjadi perubahan gaya politik Muzakir Manaf pasca pileg 2019. Mungkin ia mulai menyadari bahwa belakangan ini, sikap dan keputusannya tidak memberikan dampak positif untuk partainya, yaitu Partai Aceh.
Namun ia adalah satu-satunya tokoh terkuat untuk memenangkan Pilkada 2022 di Aceh, hal tersebut tentu akan berjalan mulus, jika ia dapat memainkan perannya dengan baik dan benar.
Perjalanan Pilu Politik Partai Aceh dan Muzakir Manaf Sejak Terbentuk
Reviewed by Yudi Kita
on
April 28, 2020
Rating:
Tidak ada komentar: