LGBT, banyak orang mengenal istilah LGBT, tapi sangat sedikit
yang paham akronim dari LGBT ini, ia adalah akronim dari "lesbian, gay,
biseksual, dan transgender". Tapi kali ini saya tidak sedang
membahas definisi dan aktivitas dari LGBT ini, melainkan persoalan terkini
seputar dunia LGBT yang berkedudukan atau menetap di Provinsi Aceh, sebelumnya
saya akan membahas terlebih dahulu terkait kewenangan Aceh dalam kedudukannya
sebagai salah satu Provinsi di Indonesia, yang disebut sebagai “Kewenangan
Khusus.
Dari banyaknya kewenangan khusus yang diberikan kepada Aceh,
salah satunya adalah kewenangan penerapan syariat Islam, ini adalah kewenangan
yang kemudian menjadikan Aceh sedikit luluh terhadap Indonesia, bukan tanpa alasan,
penerapan syariat Islam adalah memang menjadi tuntutan masyarakat Aceh sejak
Indonesia saat itu masih dalam perjuangan, dan pemberlakuan syariat Islam bahkan
pernah dimintakan langsung oleh tokoh Aceh Teungku Muhammad Daud Beureueh kepada Soekarno, namun dikemudian
hari, Soekarno mengingkarinya yang kemudian membuat Aceh bergejolak karena
merasa dikhianati oleh Pemerintah Pusat.
Sejak itulah, pemberontakan demi pemberontakan yang dari
generasi ke generasi terus berlanjut di Aceh hingga akhirnya pada tanggal 15 Agustus
2005 terjadinya Perdamaian antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) yang menjadi keberlanjutan dari perjuangan sebelumnya yang
dinamakan MoU Helsinky.
Syariat
Islam sendiri dideklarasikan pada tahun 2001, jauh sebelum terjadinya MoU
Helsinky, pemberian kekhususan itu sebenarnya ditengarai untuk membendung
pergerakan perlawanan yang sedang terjadi di Aceh, saat itu, pro dan kontra
terus bermunculan, bahkan dituding sebagai bagian upaya pemerintah Indonesia
untuk memblokir dukungan Negara-Negara Non Muslim, yang saat itu semakin
mendapatkan tempat untuk pergerakan GAM.
Pasca perdamaian dan lahirnya
Undang-Undang Pemerintah Aceh atau disingkat UUPA, pemerintah Aceh semakin
punya keleluasaan untuk menerapkan pemberlakuan syariat Islam, maka lahirlah
berbagai Qanun yang menyangkut persoalan syariat Islam, hingga terbentuknya
Dinas Syariat Islam, Mahkamah Syariah dan Polisi Wilayatul Hisbah (WH) yang mengatur
dan mengurusi khusus persoalan syariat.
Sejak pemberlakuan syariat Islam
hingga sekarang, setiap proses hukuman, pencegahan maupun penegakannya selalu
saja menuai pro dan kontra, misalnya seperti hukuman cambuk, maka akan ada
banyak lembaga-lembaga diluar Aceh yang kemudian bersuara, menyuarakan
pelanggaran HAM, tidak manusiawi dan sebagainya, begitu pula ketika Walikota
Banda Aceh saat itu menangkap anak-anak Punk yang kemudian digunduli dan
diberikan pelatihan oleh SPN Seulawah, untuk kemudian dikembalikan kepada
orangtuanya, saat itu berbagai lintas komunitas diluar Aceh memprotes atas aksi
Walikota, bahkan dibeberapa Negara, Kedubes Indonesia di demo sebagai bentuk
protes mereka atas sikap Walikota Banda Aceh, namun di Aceh masyarakatnya
melakukan perlawanan dengan memberikan dukungan penuh atas sikap pemerintah
untuk memberantas kehadiran anak punk yang semakin menjamur, karena dianggap
tidak sesuai dengan syariat Islam.
Begitu pula dengan kasus baru-baru ini terjadi yang menguras tenaga
berbagai pihak, yaitu Polres Aceh Utara melakukan penertiban terhadap
salon-salon yang terletak di Wilayah Hukum Aceh Utara, ditemukan banyaknya
Waria-Waria yang kemudian di cukur rambutnya dan dibina. Pasca penertiban itu, Kapolres
Aceh Utara Untung Sangaji mendapatkan kritikan tajam dari berbagai kalangan
diluar Aceh, bahkan Ketua MPR Zulkifli Hasan menganggap sebagai bentuk tidak
menghargai kemanusiaan, kemudian Komnas HAM menyebutkan sebagai bentuk
persekusi, memang Komnas HAM selalu bersuara keras disetiap kali ada penegakan hukum
terkait syariat Islam di Aceh, dan Kapolri pun memerintahkan Untung Sangaji
untuk diperiksa, yang kemudian ia dipanggil oleh Propam.
Tapi hal itu berbanding terbalik di
Aceh, di Aceh Untung Sangaji mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat, bahkan
aksinya dipuja-puji oleh masyarakat Aceh, dukungan bahkan diberikan dalam
bentuk aksi yang dilakukan oleh berbagai kalangan di Aceh, bukan hanya
masyarakat, Pemerintah baik Legislatif maupun Eksekutif pun mendukung Untung
Sangaji, hal tersebut dibuktikan dengan hadirnya Gubernur Aceh dan Ketua DPRA
saat massa melakukan aksi solidaritas untuk Untung Sangaji.
Memang begitulah dinamika penegakan
syariat Islam di Aceh dari awal masa pendeklarasianya hingga saat ini masa
penegakannya, penegakan syariat Islam di Aceh selalu saja menjadi bagian cerita
menarik yang disebut-sebut atau dianggap bagian dari pelanggaran HAM,
menariknya hal tersebut berbanding terbalik dengan masyarakat Aceh, masyarakat
Aceh akan tetap menjadi bagian yang memberikan dukungan solidaritas penuh
terhadap pihak-pihak yang menegakkan syariat Islam.
Bahkan saat ini, pasca penertiban yang
dilakukan oleh Kapolres Aceh Utara, masyarakat berharap aksi-aksi tersebut
dilakukan di seluruh Aceh untuk menertibkan kehadiran Waria-Waria atau LGBT di
Aceh, karena Aceh bukanlah “Tanah Bencong” melainkan “Tanah Rencong”. Masyarakat
Aceh tidak peduli terhadap reaksi masyarakat di luar Aceh yang memprotes sikap
Aceh terhadap pihak-pihak yang dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam.
Aceh, Syariat Islam and LGBT
Reviewed by Yudi Official
on
Februari 06, 2018
Rating:
Tidak ada komentar: