Saat ini, Aceh sudah memasuki angka
11 tahun lebih perdamaian yang dirajut antara pemerintah Indonesia dengan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pasca damai yang dilaksakan di Helsinky Firlandia
tahun 2005 tersebut telah menghasilkan beberapa kesepakatan penting yang tertuang
dalam Undang Undang Pemerintah Aceh (UUPA) diantaranya dapat mendirikan partai
politik lokal, pengelolaan sumber daya alam, bendera dan lambang serta banyak
kekhususan lainnya yang diberikan untuk Aceh.
Dari banyak kesepakatan penting yang
tertuang dalam UUPA tersebut, mendirikan partai politik lokal adalah yang
paling cepat dan sukses diaplikasikan baik oleh pemerintah pusat maupun para
mantan kombatan GAM. Partai lokal yang kemudian paling sukses dan menguasai
parlemen maupun esekutif adalah Partai Aceh dari sejumlah partai local lainnya
yang pernah mengikuti pemilihan legislatif.
Pada Pileg 2009, Partai Aceh mampu
mengantarkan 33 kadernya dari total 69 total anggota parlemen Aceh, belum lagi
di eksekutif yang mayoritas dikuasai oleh kader Partai Aceh, kemudian ditahun
2014 Partai Aceh mengalami penurunan menjadi 29 dari total 81 anggota parlemen
Aceh. Sedangkan partai lokal lainnya mendapatkan hasil yang mengecewakan,
termasuk Partai Sira.
Partai Sira adalah perubahan wujud
dari organisasi pergerakan sipil yang pernah sukses mengumpulkan jutaan rakyat
Aceh untuk melakukan aksi ke ibu kota Provinsi Aceh yaitu Banda Aceh, untuk
ikut menyuarakan nasib Aceh pada saat sedang bergejolak konflik tahun 2000
silam. Organisasi yang dinaungi oleh intelektual dan pemuda Aceh ini gagal
mengumpulkan suara ketika telah berubah wujud menjadi partai politik pada saat
pemilihan legislatif tahun 2009, bahkan tidak satupun kadernya mampu meraih
kursi untuk tingkat parlemen Aceh. Akhirnya tahun 2014 Partai Sira memutuskan
tak ikut lagi dalam pemilihan legislatif 2014. Begitu pula nasib partai lokal
lainnya seperti Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS) dan
Partai Bersatu Aceh (PBA).
Berbeda pula nasibnya dengan Partai
PDA, partai yang mengandalkan basis basis pesantren ini mampu mengantarkan satu
orang kadernya ke parlemen Aceh pada Pileg 2009, bahkan ditahun 2014 mereka
kembali ikut meskipun namanya sedikit berubah, dan kembali mampu mengantarkan
satu orang kader yang sama ke parlemen Aceh.
Ditahun 2014, lahir lagi satu partai
lokal buah dari perseteruan para mantan kombatan, partai yang diisi oleh mantan
kader Partai Aceh ini diberi nama Partai Nasional Aceh (PNA), partai ini lahir
dengan mengandalkan sosok Irwandi Yusuf (Gubernur Aceh periode 2007-2012),
lahirnya partai ini akhirnya mampu mengantarkan 3 orang kadernya keparlemen
Aceh, meski kelahiran partai tersebut telah membuat Aceh sangat tidak stabil
kondisi keamanannya dan banyak memakan korban jiwa pada pileg 2014, akibat dari
perseteruan para kader baik yang memihak Partai Aceh maupun PNA.
Meski partai lokal merupakan anggota
mayoritas di parlemen Aceh, tapi sangat disayangkan kondisi Aceh yang tak mampu
mengejar ketertinggalan secara signifikan, ada banyak problem yang tak mampu
diselesaikan hingga kini di Aceh, pada saat uang yang tertuang dalam Anggaran
Pendapatan Belanja Aceh (APBA) mencapai angka 12 Trilyun lebih, uang tersebut
didapatkan dari berbagai sumber maupun bantuan pemerintah pusat termasuk dana
otonomi khusus, sedangkan Aceh hanya memiliki Pendapatan Asli Aceh (PAA)
berkisar 2 Trilyun.
Urusan kemiskinan, pengangguran,
infastruktur, energi listrik, rumah tak layak, dan berbagai problem lainnya
menjadi santapan setiap hari yang terekspos media media di Aceh, belum lagi
yang tidak terekspos.
Disaat uang yang melimpah dan kondisi
yang pahit bagi rakyat Aceh, para elit politik yang mayoritas dari partai lokal
malah bukan menunjukkan simpati dan kerja kerasnya untuk menuntaskan problem
yang sedang dialami oleh masyarakat Aceh, selagi uang yang digelontorkan ke
Aceh masih tinggi angkanya. Tapi pasca damai, perseteruan antar elit politik
paling menonjol ditunjukkan di Aceh ketimbang kerja untuk mensejahterakan
masyarakat, dan masyarakat hanya disuguhkan dengan drama drama konyol para
politisi yang kerap dipertontonkan itu.
Perseteruan antara eskekutif dan
legislatif seperti tak ada habis episodenya, panjang episode pun mengalahkan
sinetron "Cinta Fitri" dan "Tukang Bubur Naik Haji",
perseteruan itu dilakukan secara terang terangan, dipertontonkan, bahkan
melupakan tugas dasarnya bekerja untuk kepentingan masyarakat. Bisa jadi karena
rasa malu yang hilang dan empati kepada masyarakat yang kurang, membuat para
politisi politisi ini tak memikirkan apa yang paling penting dan tidak penting
bagi masyarakat untuk mereka kerjakan.
Maka tak heran, aksi aksi konyol
para politisi kini jadi hiburan yang paling menarik untuk diperbincangkan oleh
para masyarakat ketika sedang nongkrong menikmati segelas kopi.
Ya, inilah hiburan kami masyarakat Aceh...!!!
Wajah Politik Aceh Pasca Damai
Reviewed by Yudi Official
on
April 13, 2017
Rating:
Tidak ada komentar: