Pemilihan Presiden
telah usai pada 09 Juli 2014 yang lalu, ketegangan politik pelan pelan mulai
mencair, dari yang sebelumnya kita ketahui bahwa suhu politik yang tinggi telah
mencemaskan banyak masyarakat untuk beraktifitas, sebelum pilpres digelar
berbagai isu negatif beredar marak di masyarakat, mulai dari black campaign dan
negatif campaign terhadap kedua pasangan capres dan cawapres ini sampai
terhadap isu kerusuhan yang akan terjadi. Namun meski banjir terhadap isu black
campaign dan negatif campaign, masyarakat telah menentukan pilihannya untuk
menjadi Presiden Republik Indonesia untuk 5 tahun mendatang, pertarungan
tersebut dimenangkan oleh Jokowi Jusuf Kalla yang mengalahkan rivalnya dengan
selisih sedikit suara yaitu berkisar 8juta suara.
Melihat dinamika pencalonan kedua pasangan capres
ini, banyak orang yang mengira pasangan Prabowo Hatta lah yang bakal keluar
sebagai pemenang, meski di awal awal sebelum pencalonan elektabilitas Jokowi
paling tinggi dibandingkan calon lainnya, akan tetapi pasca pendaftaran
pasangan capres dan cawapres tersebut, pasangan Prabowo Hatta makin meroket
jauh elektabilitasnya, belum lagi jumlah koalisi yang berada di kubu Prabowo
lebih banyak dibandingkan dengan Jokowi dan kubu Prabowo juga didukung oleh
mayoritas kepala daerah, mulai dari Gubernur sampai bupati yang tentunya punya
struktur yang cukup untuk memenangkan pasangan Prabowo Hatta sebab dapat
menggunakan kekuasaannya untuk mengintervensi jaringan dibawah sampai pada
tingkat kecamatan maupun desa. Sedangkan Jokowi hanya didukung oleh sedikit
Kepala daerah dan penggunaan struktur partai yang mayoritas mendukung Prabowo
Hatta semakin membuat mereka lebih percaya diri bahwa mereka akan keluar
sebagai pemenang.
Kemudian dari segi persiapan tim maupun finansial
juga jauh lebih matang tim Prabowo Hatta dibandingkan Jokowi Jusuf Kalla.
Prabowo yang telah berencana maju sebagai Presiden mulai 5 tahun lalu tentu
telah melakukan persiapan yang matang, mulai dari finansial maupun marketing politik
untuk memenangkan pilpres pada tahun 2014 ini, marketing politik itu terbukti
Gerindra mampu menjadi partai pemenang ketiga dengan mengalahkan banyak partai
partai lainnya, keberhasilan Gerindra pada pileg dengan kenaikan sekitar 6%
suara telah membuat Prabowo lebih percaya diri untuk maju sebagai calon
Presiden.
Strategi Prabowo yang melakukan apapun untuk
menaikkan elektabilitasnya juga terlihat secara mata telanjang, publik
mengetahui bagaimana Prabowo disatu sisi mengatakan dirinya sebagai Soekarnoisme
namun dilain sisi Prabowo menyebut dirinya sebagai Soehartoisme bahkan
Gusdurian, strategi bunglon yang dilakukan Prabowo tidak lain adalah untuk
menarik para pemilih yang mengagumi tokoh tokoh tersebut. Padahal tokoh tokoh
tersebut sangatlah berbeda karakter dan ciri khasnya, jadi jika kemudian
pembaca menanyakan pendapat penulis tentang Prabowo maka saya menjawab Prabowo
sebagai orang yang tidak punya prinsip dalam marketing politik, karena
cenderung bersifat bunglon dan inkosisten.
Hal tersebut malah berbanding terbalik dengan
marketing politik Jokowi, disaat Jokowi mulai merasa bahwa dirinya telah
dikepung oleh elit kekuasan yang menjadi lawan politik beratnya. Jokowi malah
menebar virus bahwa dirinya adalah Jokowi, bukan gusdurian, bukan Soekarnoisme,
bukan pula Soehartoisme maupun yang lainnya, dengan percaya diri Jokowi
menyebutkan dirinya sebagai produk baru, produk reformasi dan sebagai anak yang
ndeso. Jokowi dengan percaya diri dan sikap optimistik nya di tebarkan kepada
pendukung dan relawannya bahwa Jokowi akan menang dengan kerja keras rakyat.
Akibat perbedaan mencolok terhadap kubu capres dan
cawapres yang mayoritas didukung parpol dan minoritas didukung parpol akhirnya
keluar lah istilah koalisi elit politik melawan koalisi rakyat, istilah ini
malah menjadi kekuatan Jokowi untuk menggerakan relawannya yang berada didesa
desa untuk bekerja keras memenangkan Jokowi Jusuf Kalla agar budaya politik
yang berpusaran pada elit politik segera bisa tersingkirkan dari kekuasaan,
namun hal ini berbanding terbalik dengan kubu Prabowo Hatta yang masih sibuk
dengan pusaran elit politik, kubu Prabowo Hatta menilai solidnya partai
pendukung dan pentingnya partai Demokrat untuk menjadi bagian dari koalisinya
adalah hal penting yang harus dikejar, sehingga manajemen kerja tim Prabowo
Hatta hanya berpusaran dan mempercayakan penuh konsituen pada elit elit politik
yang punya pengaruh dan kekuatan finansial.
Usai pemilihan pada 09 April yang lalu, satu
peristiwa menegangkan telah terlewatkan oleh rakyat Indonesia, dimana rasa was
was akan terjadinya kerusuhan yang sebelumnya sempat hadir dibenak masyarakat
akhirnya tidak terbukti, namun rasa was was tersebut hanya meredam sementara,
sore harinya kedua kubu capres dan cawapres melakukan deklrasi kemenangan, pasangan
Jokowi Jusuf Kalla mendeklarasikan kemenangan terlebih dahulu dengan
mengandalkan 7 lembaga survei yang memenangkan dirinya, kemudian disusul dengan
deklarasi kemenangan oleh kubu Prabowo Hatta yang mengandalkan 4 lembaga survei
yang memenangkan dirinya. Akibat saling klaim menang dari kedua kubu capres dan
cawapres ini akhirnya memunculkan polemik baru ditengah masyarakat, perang
media mulai dari televisi, cetak, online dab sosial kembali ramai ramai
memberitakan perbedaan hasil survei ini, melihat polemik dan stabilitas
keamanan yang mulai mengkhawatirkan akhirnya komisi penyiaran indonesia (KPI)
mengeluarkan instruksi agar media televisi tidak lagi memunculkan hasil Quick
Count yang berbeda beda tersebut.
Sejak saat itu baik Presiden maupun KPU Langsung
menginstruksikan bahwa masing masing pasangan capres dan cawapres untuk menahan
diri dan menunggu hasil keputusan KPU pada tanggal 22 Juli, kemudian pelan
pelan suasana pun kembali mencair, meskipun ada pasangan capres dan cawapres
yang melakukan manuver dan memperkeruh keadaan.
Tiga hari menjelang penetapan hasil di KPU,
khususnya kubu Prabowo Hatta mulai melakukan manuver lain, dari semulanya yang
meyakini bahwa ia menang akhirnya mulai menolak hasil, meminta KPU menunda
penetapan, kemudian menggugat KPU, bahkan secara terang terangan mengatakan
bahwa akan mengerahkan masa kekantor KPU, dilain sisi pasangan Jokowi Jusuf
Kalla malah mulai terlihat lebih dewasa dalam menyikapi setiap persoalan
menjelang penetapan hasil oleh KPU, Jokowi berkali kali menginstruksikan agar
relawannya tidak turun kejalan dan tidak menggunakan atribut yang sering
digunakan Jokowi ketika kampanye.
Prabowo yang berkali kali mengatakan bahwa ia siap
menerima keputusan rakyat ternyata di kemudian hari tidak mampu dibuktikan ucapannya,
malah terlihat semakin inkosisten dan bunglon, ketika Prabowo berkali kali
menyuruh Jokowi untuk mengatakan bahwa ia siap menerima keputusan rakyat, tapi
menjelang penetapan hasil oleh KPU, Jokowi lah yang terlihat semakin dewasa
menyikapi persoalan dibandingkan Prabowo yang mulai tidak siap menerima
kenyataan atas keputusan rakyat dengan menolak hasil rekapitulasi KPU dan
memerintahkan saksi untuk walk out dari gedung KPU. Kemudian bahkan usai 9
Juli, Prabowo terlihat berkali kali mengeluarkan emosi kepada media yang
mengkritisinya dan ini berbanding terbalik dengan Jokowi yang malah mengunjungi
hampir semua media masa tanpa terkecuali yang pernah mengkritisinya.
Perbedaan strategi politik antara Jokowi yang lebih
mengutamakan gagasan dibandingkan Prabowo yang masih mengandalkan sosok lain
ternyata menjadi harapan baru bagi masyarakat untuk keluar dari kebiasaan
perpolitikal di Indonesia dan juga mampu menghemat cost politik yang harus
ditanggung oleh calon mau pun partai politik yang ikut koalisi tersebut,
sebagai contoh politik gagasan yang dimainkan oleh Jokowi adalah ketika
kampanye Jokowi lebih memilih blusukan kepasar dan Langsung menyentuh
konstituen dibandingkan orasi politik di panggung yang diyakininya tidak
efektif namun membutuhkan biaya yang banyak sedangkan Prabowo tetap memilih
orasi panggung dalam kegiatan kampanyenya, kemudian perbedaan mencolok lagi
adalah kampanye di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Prabowo mengumpulkan elit
politik dan memobilisasikan massa untuk hadir ke GBK yang tentunya mengeluarkan
cost politik yang sangat tinggi, kemudian juga menyewa musisi ternama Maher
Zain untuk menarik massa, sedangkan Jokowi malah memulai gagasan dengan
berkumpulnya musisi yang pro Jokowi untuk melakukan kampanye di GBK, hebatnya
musisi musisi ternama itu tidak dibayar oleh Jokowi dan massa yang hadir pun
tidak dimobilisasi oleh tim Jokowi, tapi melihat tingkat kehadiran massa di GBK
antara kampanye Jokowi dan Prabowo malah lebih banyak massa Jokowi, padahal
Jokowi melakukan itu dengan cost politik yang sangat rendah dan berbanding
terbalik dengan Prabowo. Gagasan yang mengeluarkan cost politik rendah akan
tetapi mampu menarik massa melebihi massa yang dimobilisasi itu dibuktikan oleh
Jokowi sebanyak dua kali di Jakarta yaitu di Monas dan GBK.
Politikus di Indonesia perlu belajar banyak tentang
gagasan politik yang dimainkan oleh Jokowi ini, agar kebiasaan yang menganggap
politik itu adalah uang dapat ditinggalkan perlahan lahan.
Politik Bunglon Prabowo Dan Gagasan Jokowi
Reviewed by Anonim
on
Juli 23, 2014
Rating: