Masyarakat
Aceh telah krisis identitas, orang tua kita zaman dulu menyebutnya bèh-bèh kada, membuang identitas keasliannya
untuk sesuatu yang palsu. Aceh hari ini adalah Aceh sunôh kada, berprilaku bukan pada kadar
dirinya, begitulah sebut Murthalamuddin Kepala Biro Humas Pemerintah Aceh dan mantan
jurnalis yang
saya kutip dalam website acehindependent.com, melihat fenomena nyata dalam
kehidupan bersosial di masyarakat Aceh memang harus kita akui bahwa benar
adanya Aceh telah kehilangan indetitasnya oleh sebab perilaku yang telah
melenceng dari sejarah kehidupan masyarakat Aceh itu sendiri.
Lebih lanjut sebut Murthalamuddin Pada masa lalu orang Aceh sangat mandiri.
Mengemis atau meminta sesuatu kepada orang lain adalah sesuatu yang dianggap
hina. Sebuah penghinaan bagi diri sendiri bila itu dilakukan, karena itu pula,
masyarakat Aceh zaman dahulu merupakan para pekerja keras, yang dengan itu ia
hidup dan menghidupi keluarganya. Masyarakat Aceh masa lalu adalah masyarakat
yang berdiri di atas kakinya sendiri, tidak bersandar pada pijakan orang lain.
Masyarakat yang benar-benar mandiri.
Bandingkan dengan saat ini, tak usah jauh
jauh untuk membandingkan bahwa fenomena saat ini masyarakat Aceh telah melenceng
jauh dari apa yang Murthalamuddin sebutkan di atas,
silahkan anda meluangkan waktu sekitar 2 jam di warung kopi, lalu kemudian
hitunglah berapa jumlah para pengemis yang datang ke anda untuk meminta
sumbangan, sungguh sebuah fenomena yang sebenarnya sangat memalukan bagi jati
diri bangsa Aceh, apalagi melihat bahwa banyak pengemis yang kelihatan dalam
keadaan baik dan berbadan sehat tanpa kekurangan fisik, tapi mereka dengan
percaya diri melakukan aksi mengemis.
Kemudian
lebih lanjutnya lagi adalah kehidupan sosial dimasyarakat, budaya gotong royong
dan saling membantu yang kian terkikis, budaya mengumpat dan arogansi kelompok
yang makin mengkhawatirkan, sehingga menghalalkan segala cara baik itu dengan
mengatasnamakan agama. Fenomena ini sadar atau tidak sadar telah mencoreng
indetitas ke Acehan kita sendiri di hadapan masyarakat luar yang mengenal Aceh
sebagai bangsa yang santun dan bersyariat.
Masyarakat
Aceh mengecam siapapun yang melakukan penghambatan terhadap penegakan syariat
islam di Aceh, tapi masyarakat Aceh sendiri jauh berperilaku dan menyimpang
dari aturan syariat islam itu sendiri, kekerasan atas nama agama begitu marak
terjadi di Aceh, bahkan sebagian masyarakat dengan bangga melakukan kekerasan
dengan mengatasnamakan agama, kemudian budaya mengumpat, fitnah, penghakiman
masa dan berbagai hal lainnya juga semakin marak dan berkembang di Aceh dengan
subur, padahal hal hal seperti itu tidak dibenarkan dalam agama yang mayoritas masyarakat
Aceh anut.
Dalam
pertarungan politik masyarakat Aceh juga begitu mudah menuduh orang lain dengan
kata “kafir” atau orang sesat, padahal dalam islam hal
seperti itu dilarang keras “Barangsiapa
memanggil atau menyebut seorang itu kafir atau musuh Allah padahal sebenarnya
bukan demikian, maka ucapannya itu akan kembali kepada orang yang mengatakan
[menuduh] itu.” (H.R. Bukhari) “
Fenomena
fenomena karakter jauh dari konteks ke Acehan begitu mudah kita temukan dalam
kehidupan bermasyarakat di Aceh, bahkan fenomena seperti itu semakin tumbuh
menjamur menjadi kehidupan dan karakter masyarakat Aceh masa kini.
Generasi
lama telah hilang, kini tumbuh generasi baru, dengan indetitas baru pula. Aceh modern bersyariat, tapi syariat buta
Aceh Dengan Indetitas Syariat Buta
Reviewed by Anonim
on
Juli 19, 2014
Rating: