Bencana datang silih berganti,
belum pulih disatu tempat, tempat lain sudah merasakan bencana lainnya. Begitulah
kondisi alam di Negeri ini, bencana yang tiada berhenti belum juga mampu
menyadarkan manusia untuk terus merawat dan menjaganya agar terhindar dari
kemarahan alam.
Ada banyak hal yang menarik dan
dapat kita pelajari setelah terjadinya bencana, obrolan masyarakat dalam
menceritakan setiap kondisi secara detail dari mulut mulut
masyarakat. Apalagi kondisi aceh akan kental dengan budaya Jeep Kupi, (minum
kopi dan nongkrong diwarung kopi) membuat suasana semakin cepat dan menjarah
kesetiap telinga masyarakat. Disatu sisi mahasiswa yang disebut sebagai kaum
intelektual pun punya cara tersendiri dalam menanggapi bencana bencana yang
terjadi.
Konsisi social masyarakat yang
masih tinggi membuat suatu kelebihan tersendiri dalam kehidupan masyarakat
aceh, dimana jika tetangga mengalami musibah maka yang lainnya ikut merasakan
kesedihan dan membantu tetangga tersebut.
Dalam hal bencana yang terjadi
silih berganti di Aceh, membuat masyarakat tidak lelah dalam membantu
saudaranya yang sedang mengalami musiban bencana tersebut. Dalam hal ini
mahasiswa sebagai kaum intelektual pun bergerak cepat dengan caranya sendiri
untuk berlomba lomba tampil dalam melakukan penggalangan dana sebagai bukti
bahwa duka masyarakat aceh duka mahasiswa juga.
Namun cara yang dilakukan oleh
mahasiswa saat ini, dalam hal penggalangan dana mulai tersontar mahasiswa bagaikan
pengemis, disetiap terjadinya bencana disuatu daerah maka mahasiswa turun
kejalan mengemis. Mungkin dalam hal ini, bukan disalahkan pada suatu niat
mahasiswa yang melakukan penggalangan dana, namun jika kita melihat dalam perspektif lain maka dapat kita simpulkan bahwa mekanisme atau cara mahasiswa melakukan
penggalangan dana yang di anggap cara-cara tak elegan sebagai kaum intelektual.
Secara moral ataupun gelar
sebagai mahasiswa maka masyarakat memandang sebagai kaum yang lebih, yang
seharusnya setiap perilaku dan etika harus mencerminkan diri sebagai kaum
intelektual. Memang di era beberapa tahun yang lalu banyak mahasiswa yang melakukan penggalangan dana dengan turun kejalan. Namun saat ini banyak organisasi yang sudah menemukan mekanisme mekanisme yang lebih terhormat dan kreatif dalam melakukan penggalangan dana untuk bencana. Disamping itu sudah mulai terlihat banyak event-event yang
dilakukan oleh berbagai organisasi dengan mengangkat tema penggalangan dana
untuk bencana, sebagian lagi ada yang melakukan penjualan produk dengan mengangkat
tema bencana seperti penjualan pin, baju dan lain lain yang mengangkat tema
bencana.
Sehingga masyarakat pun menilai
itu merupakan cara yang lebih elegan dibandingkan dengan cara-cara mengemis. Karena
adanya timbal balik yang diberikan antara masyarakat dengan para organisasi
penggalangan dana. Dan masyarakat pun dapat menerima hal hal seperti itu pula,
meski produk yang dijual oleh organisasi tersebut lebih mahal dibandingkan
produk yang dijualkan dipasaran. Disebabkan masyarakat bukan melihat dari
kualitas produknya tapi melainkan tema yang di angkat oleh para organisasi
tersebut adalah bencana. Yang mana
kesemua dari keuntungan yang didapatkan oleh organisasi tersebut akan
diserahkan kepada masyarakat yang sedang mengalami musibah.
Sayangnya cara-cara yang
dilakukan oleh organisasi non mahasiswa tersebut belum mampu dicerna oleh
mahasiswa untuk mengikuti jejak-jejak tersebut. Dimana setiap penggalangan dana
setidaknya ada timbal balik yang diberikan kepada pihak penyumbang agar tidak
terlihat seperti pengemis. Lalu apa bedanya mahasiswa dengan pengemis.
Hal ini bukan dalam artian setiap
penyumbang menginginkan adanya timbal balik setelah menyumbang, namun cara cara
seperti itu dipandang oleh masyarakat merupakan cara cara yang lebih terhormat
dan elegan yang harus dilakukan oleh mahasiswa dalam memberi kontribusi kepada
masayarakat.
Bencana : Mahasiswa Mengemis, Bukan Jamannya Lagi
Reviewed by Sie Yudie
on
Januari 15, 2013
Rating:
Tidak ada komentar: